HUKUM WARIS KAKEK BERSAMA DENGAN SAUDARA MENURUT PENDAPAT IMAM SYAFI’I
Maimunah
Email : @may.elhafidz@gmail.com
Abstrak: Masalah kewarisan tidak disinggung secara jelas di dalam al-Qur’an di antaranya masalah kewarisan kakek bersama saudara. Dalam masalah ini terjadi perbedaan pendapat dikalangan ulama. Namun mayoritas ulama madzhab termasuk didalamnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa saudara laki-laki atau perempuan baik sekandung atau seayah, berhak mendapat hak waris ketika bersama dengan kakek.Kemudian dilakukan sebuah penelitian dengan metode yang digunakan peneliti adalah penelitian pustaka, dengan menekankan pada penelaahan bahan-bahan pustaka atau literatur yang berhubungan Hukum Waris Kakek Bersama Saudara, yang kemudian dianalisis menggunakan metode deskriptif analisis dan menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif.
Menurut pendapat Imam Syafi’i sebagaimana yang dijelaskan dalam kitab at-Taqrirat as-sadidah karya Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaff bahwa saudara laki-laki atau perempuan baik sekandung atau seayah berhak mendapatkan hak waris ketika bersama dengan kakek dengan memberikan bagian yang lebih menguntungkan antara 1/3 harta atau muqasamah bersama saudara. Namun jika selain kakek dan saudara ada ashabul furudh maka berikan bagian yang lebih menguntungkan untuk kakek antara 1/6 dari seluruh harta, atau 1/3 sisa setelah bagian ashabul furudh atau muqasamah bersama dengan saudara. Istinbath hukum yang digunakan Imam Syafi’i tentang hukum waris kakek bersama dengan saudara adalah menggunakan metode qiyas.
Kata kunci : Waris, Kakek Bersama dengan Saudara, Imam Syafi’i
Abstract: The issue of inheritance is not clearly mentioned in the Qur'an, including the issue of grandfather's inheritance with siblings. In this matter there are differences of opinion among scholars. However, the majority of scholars of the madzhab including Imam Syafi'i are of the opinion that brothers or sisters, whether biological or paternal, have the right to receive inheritance rights when together with the grandfather. Then a study was conducted with the method used by the researcher is library research, emphasizing the review of library materials or literature related to the Law of Grandfather's Inheritance with Siblings, which is then analyzed using a descriptive analysis method and using a normative approach method. According to Imam Syafi'i's opinion as explained in the book at-Taqrirat as-sadidah by Hasan bin Ahmad bin Muhammad al-Kaff that brothers or sisters, whether biological or paternal, have the right to receive inheritance rights when together with the grandfather by providing a more profitable portion between 1/3 of the property or muqasamah with siblings. However, if in addition to the grandfather and siblings there are ashabul furudh, then give a more profitable portion to the grandfather between 1/6 of the entire estate, or 1/3 of the remainder after the share of the ashabul furudh or muqasamah together with the siblings. The istinbath law used by Imam Syafi'i regarding the law of inheritance of grandfathers together with siblings is to use the qiyas method.
Keywords: Inheritance, Grandfather Together with Siblings, Imam Syafi'i
PENDAHULUAN
Hukum kewarisan menempati tempat yang penting dalam perkembangan sejarah hukum Islam. Karenanya, para fuqaha’ dan mufassir banyak memperbincangkan masalah tersebut, mulai dari masa klasik sampai masa sekarang. Bahkan para fuqaha’ menjadikan hukum tersebut sebagai salah satu cabang ilmu tersendiri yang disebut dengan ilmu “waris” atau ilmu faraidh. (Sayyid Sabiq, 1997)
Lafadz faraidh merupakan bentuk jamak dari lafadz faridhah, yang mengandung arti mafrudhah, yang sama artinya dengan muqaddarah, yaitu suatu yang ditetapkan bagiannya secara jelas.didalam ketentuan kewarisan Islam yang terdapat dalam Al-Qur’an, lebih banyak terdapat bagian yang ditentukan dibandingkan yang tidak ditentukan. Mempelajari dan mengajarkan fiqh mawaris yang semulanya wajib kifayah, dapat diubah statusnya menjadi wajib ‘ain (kewajiban individual), terutama bagi orang orang yang oleh masyarakat dipandang sebagai pemimpin atau panutan, terutama para pemimpin keagamaan.(Ahmad Rofiq,2001)
Ketika dilihat dari nash-nash kewarisan yang ada, maka masalah kewarisan dianggap telah jelas ( qat’i ) dalam beberapa hal, sebagai contoh bahwa ayat tersebut qat’i adalah surah An-Nisa ayat 12, yaitu tentang bagian suami. (Abdul Wahab Khallaf,1994) Namun dalam beberapa hal yang lain tidak disinggung secara jelas oleh al-Qur’an sehingga masih banyak menimbulkan beragam interpretasi.
Adapun masalah kewarisan yang tidak disinggung secara jelas didalam al-Qur’an diantaranya masalah kewarisan kakek bersama saudara. Yang dimaksud kakek disini adalah kakek yang shahih, yakni kakek yang nasabnya terhadap pewaris tidak tercampuri unsur wanita, misalnya ayah dari bapak dan seterusnya keatas. Sedangkan kakek yang tercampuri unsur wanita disebut juga sebagai kakek yang ghairu shahih.
Dalam pembicaraan tentang hadirnya kakek bersama saudara dalam satu kelompok ahli waris timbul masalah. Masalah ini timbul karena melihat kedudukan masing-masing dalam kewarisan. Disatu sisi terlihat kedudukan saudara lebih tinggi dari kakek dengan melihat sumber hukum yang menetapkannya. Saudara ditetapkan berdasarkan dalil yang qat’i dari al-Qur’an sedangkan kakek melalui Sunnah Nabi SAW.(Amir Syarifuddin,2015)
Namun baik al-Qur’an maupun hadits Nabawi belum diatur mengenai warisan bagi kakek yang shahih dengan saudara kandung maupun saudara seayah. Oleh karena itu, mayoritas sahabat sangat berhati-hati dalam memutuskan masalah ini, bahkan cenderung sangat takut untuk memberi fatwa yang berkenaan dengan masalah ini. Namun walaupun demikian mereka tetap berusaha dengan berijtihad untuk menyelesaikan permasalahan tentang kewarisan kakek bersama saudara dengan mengkaji dalil-dalil syar’i.
Segolongan ulama yang dipelopori oleh Abu Bakar dan juga diikuti oleh Ibnu Abbas, Abdulllah ibn Zubaer, Usman, Aisyah, Ubay bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Abu Musa, dan lainnya dari kalangan sahabat yang kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, al-Muzanni, Daud dan Ibnu Munzir berpendapat bahwa kakek menutup hak saudara, baik laki-laki maupun perempuan dalam ketiga hubungannya ( saudara seayah, seibu dan kandung ). Menurut Imam Abu Hanifah, kakek shahih menempati kedudukan ayah apabila telah meninggal karena kakek merupakan bapak paling tinggi. (Amir Syarifuddin,2015)
Golongan kedua dipelopori oleh Ali, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, yang kemudian diamalkan oleh Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Shmad, Abu Yusuf dan Muhammad al-Syaibani dari kalangan Hanafiyah, al-Auzi berpendapat bahwa saudara dapat bersama kakek dan kakek tidak dapat menghijabnya. Yang dapat menghijabnya selain dari anak laki-laki atau cucu laki-laki hanya ayah. (Amir Syarifuddin,2015)
Alasan yang dikemukakan oleh golongan yang kedua ini adalah bahwa saudara itu hak kewarisannya telah ditetapkan dengan nash yang jelas dan tidak mungkin dihijab kecuali bila dinyatakkan oleh nash atau ijma. Selain itu mereka juga memiliki kedudukan yang sama dalam faktor yang menyebabkan mereka mendapatkan hak waris. Kakek merupakan pokok dari ayah ( ayahnya ayah ), sedangkan saudara adalah cabang dari ayah ( anak-anaknya ayah ), karena itu keduanya memiliki derajat yang sama.
Imam Syafi’i menjelaskan mengenai bagian kakek bersama saudara dalam kitabnya Al-Umm sebagai berikut :
( قال الشافعي ) رحمه الله تعالى : إذا ورث الجدُّ مع الإخْوةِ للأب و الأم أو للأب قَاسمهم ما كانت المقاسمة خيرًا له من الثلث فإذا كان الثلث خيرًا له منها أعطيه
Menurut imam Syafi’i pembagian waris kakek yang bersama dengan saudara bisa dilakukan dengan muqasamah jika bagian kakek lebih baik dari pada mendapatkan 1/3 harta warisan, dan bisa pula kakek mendapatkan 1/3 harta jika lebih baik dari pembagian harta secara muqasamah.
Dari uraian yang telah dipaparkan penulis diatas, sangat jelas adanya perbedaan pendapat dikalangan para ulama madzhab mengenai pembagian kewarisan kakek bersama saudara.
Dan dalam hal ini penulis tertarik untuk meneliti dan menganalisis tentang pendapat imam Syafi’i tentang kewarisan kakek bersama saudara dan juga dalil dari imam Syafi’i tentang permasalahan tersebut berdasarkan kitab Taqriratus Syadidah Karya Hasan Bin Ahmad Bin Muhammad Al-Kaff karena penulis melihat mayoritas muslim di Indonesia menganut madzhab Syafi’i.
METODE PENELITIAN
Jenis penelitian yang dipilih dalam penelitian ini adalah penelitian kepustakaan (library research)(Silvia Saraswati,2013), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya. Dengan menekankan pada penelusuran dan penelaahan bahan-bahan pustaka seperti kitab, buku-buku, dan lainnya yang berhubungan dengan pendapat imam Syafi’i tentang hukum waris kakek bersama dengan saudara. Adapun sumber data dalam penelitian ini sesuai dengan jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kepustakaan (library research), maka data-data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah berupa data-data yang diperoleh dari perpustakaan melalui literatur kitab imam Syafi’i baik itu bersifat primer maupun sekunder.
Dalam pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian ini, maka penulis menggunakan metode pengumpulan data dengan cara mencari data data berupa buku-buku atau literatur yang ada diperpustkaan yang membahas tentang permasalahan yang diteliti. Kemudian dalam hal ini penulis menghimpun sumber data dan mengkaji serta menelaah buku-buku yang mempunyai relevansi dengan pendapat imam Syafi’i dalam pembahasan masalah hukum waris kakek bersama dengan saudara. Data yang telah terkumpul akan diolah melalui tahapan-tahapan editing, kategorisasi, dan interpretasi.
Dalam menganalisis data dalam penelitian ini penulis menggunakan metode diskriptif analitis. Yaitu sebuah metode yng bertujuan untuk menggambarkan data yang berkaitan dengan pendapat Imam Syafi’i tentang hukum waris kakek bersama saudara. Selain itu penulis juga menggunakan metode pendekatan yang bersifat normatif, pendekatan ini juga disebut dengan pendekatan terhadap kepustakaan atau studi dukumen. Pendekatan ini dilakukan sebab lebih banyak menekankan terhadap data yang diperoleh dari bahan-bahan pustaka.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengertian Waris dan Sebab-Sebab Waris
Ilmu yang mempelajari masalah warisan dikenal dengan istilah faraidh. Kata faraidh merupakan bentuk jamak dari faridhah, yang berasal dari kata faradha yang artinya ketentuan atau menentukan. Selain itu, biasa juga disebut dengan fiqh mawarits. Fiqh Mawarits adalah ilmu fiqh yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak menerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya(Ahmad Rofiq,2001)
Dalam Kompilasi Hukum Islam ( KHI ) Buku II Hukum Kewarisan Bab I pasal 171 huruf a dinyatakan bahwa huku kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan (tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing.(KHI,2004)
Hal-hal yang menyebabkan seseorang dapat memperoleh harta warisan terbagi kepada tiga macam, yaitu :
Hubungan kekerabatan atau hubungan nasab
Hubungan Perkawinan
Hubungan karena sebab wala’ (memerdekakan budak)
Macam-Macam Cara Menerima Harta Warisan
Cara menerima harta warisan terbagi kepada 3 macam yaitu :
Pewaris yang menerima harta warisan dengan cara fardh (telah ditentukan) saja;
Pewaris yang menerima warisan dengan cara ashobah (sisa harta) saja;
Pewaris yang menerima warisan dengan cara fardh dan ashobah secara bersamaan.
Konsep Kewarisan Kakek dan Saudara
Kakek dapat dibedakan menjadi dua, kakek shahih dan kakek fasid. Kakek yang berhak mendapatkan waris adalah kakek yang shahih. Menurut Ash-Shabuni, kakek shahih dalam ilmu faraidh adalah kakek yang hubungannya dengan orang yang meninggal bukan melalui perempuan. Misalnya ayahnya ayah, demikianlah terus ke atas yang dipertalikan melalui laki-laki. Apabila hubungan kakek dengan orang yang meninggal dunia dipertalikan melalui perempuan, dinamakan kakek fasid, seperti ayahnya ibu. Oleh karena itu, dia termasuk dzawil arham, begitu juga ayahnya ibu ayah.(Beni Ahmad Saebani,2015) Semua ulama sependapat menetapkan bahwasanya saudara lelaki dan saudara perempuan seibu, tidak mendapatkan pusaka bersama kakek, sebagaimana tidak mendapatkan pusaka bersama ayah. Dalam permasalahan ini saudara yang mendapatkan warisan bersama kakek adalah saudara laki-laki dan perempuan sekandung atau seayah.( Hasby Ash-shiddieqy,1973)
Jika tidak ada ayah, maka bagian kakek adalah sama dengan bagian ayah, yaitu:
1/6 harta, dalam keadaan bila si mayit yang mewariskan harta peninggalannya mempunyai anak turun laki-laki yang berhak mendapatkan waris, baik anak laki-laki, cucu laki-laki dan seterusnya kebawah.
1/6 harta dan sisa, dalam keadaan bila si mayit yang mewariskan harta peninggalannya mempunyai anak turun perempuan yang berhak mendapatkan waris, baik anak perempuan, cucu perempuan dari garis laki-laki dan seterusnya kebawah.
Ashabah, dalam keadaan bila si mayit yang mewariskan harta peninggalannya tidak mempunyai anak turun secara mutlak, baik lakilaki maupun Perempuan(Syukri Unus,1999)
Bagian Warisan Kakek Bersama Saudara Menurut Jumhur Ulama
Jika kakek mewarisi bersama saudara, maka kakek mempunyai dua keadaan, dan masing-masing mempunyai hukum sendiri-sendiri. Keadaan pertama, kakek mewarisi hanya bersama dengan para saudara, tidak ada ahli waris lain dari ashbabul furudh, seperti istri, ibu, anak perempuan, dan sebagainya. Keadaan kedua, kakek mewarisi bersama para saudara dan ashbabul furudh yang lain.( Muhammad Ali Ash-Shabuni,2007)
Kakek dan saudara tanpa adanya ashabul furudh
Ketika kakek hanya mewarisi bersama dengan saudara saja, yaitu saudara laki-laki dan saudara perempuan tanpa ada ahli waris yang lain, maka kakek dapat memilih salah satu dari dua kemungkinan yang lebih menguntungkan dan lebih banyak bagiannya, yaitu sebagai berikut:
1) Dengan cara muqasamah
2) Mendapat 1/3 dari jumlah keseluruhan harta warisan
Bagian yang lebih menguntungkan dari salah satu dua kemungkinan tersebut, itulah yang diambil kakek. Apabila muqasamah lebih menguntungkan, kakek mengambil warisannya dengan jalan muqasamah, dan apabila sepertiga dari seluruh harta lebih menguntungkan, kakek mengambil warisan sepertiga dari seluruh harta warisan.
Kakek dan Saudara dengan adanya Ashbabul Furudh
Apabila kakek dan saudara disertai ahli waris lain, penyelesaiannya adalah memberikan bagian kakek yang lebih menguntungkan dari tiga perkiraan:
1/6 harta warisan;
1/3 dari sisa setelah diambil ahli waris lain (bukan saudara);
Muqasamah dari sisa antara kakek dan saudara.
Analisis Hukum Kewarisan Kakek Bersama dengan Saudara Menurut Pendapat Imam Syafi’i
Imam Syafi’i menyebutkan dalam kitabnya Al-Umm bahwa ketika kakek mewarisi bersama saudara sekandung atau saudara seayah, maka harta waris dibagi rata di antara mereka ketika itu baik untuk kakek. Tapi, ketika bagian sepertiga lebih baik bagi kakek, maka kakek mendapatkan bagian sepertiga. Sama halnya dijelaskan pula dalam kitab at-Taqrirat as-Sadidah, pengarang yang bermadzhab Syafi’iyyah menjelaskan kakek jika mewaris bersama dengan saudara memiliki dua keadaan, yaitu bisa mendapatkan 1/3 bagian dari seluruh harta yang diwariskan dan bisa mendapatkan harta warisan dengan cara muqasamah antara kakek dengan saudara.
Dari pendapat Imam Syafi’i tersebut penulis menganalisis bahwa Imam Syafi’i lebih memprioritaskan bagian kakek. Hal tersebut terlihat dari pernyataan Imam Syafi’i di atas bahwa jika muqasamah baik bagi kakek, maka kakek mendapatkan bagian dengan cara muqasamah. Tapi, jika bagian sepertiga lebih baik bagi kakek maka kakek mendapatkan bagian sepertiga. Pernyataan terebut kurang adil karena sesungguhnya bagian saudara sendiri telah ditetapkan dalam al-Qur’an.
Dalam permasalahan hukum waris kakek bersama dengan saudara ini Imam Syafi’i mengikuti pendapat Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas‟ud, dan diikuti oleh pula oleh Imam Malik, Ahmad bin Hanbal, dan dua murid imam Hanafi yaitu Abu Yusuf dan Muhammad, mengemukakan alasan sebagai berikut:
Adanya persamaan orang yang mempertemukan garis nasab kepada si pewaris antara kakek shahih dengan saudara-saudara, yaitu bapak. Kakek adalah bapaknya bapak, dan saudara adalah anaknya bapak.
Saudara-saudara baik sekandung atau seayah, hak waris mereka telah ditetapkan dalam Al-Qur’an. Oleh karena itu, mereka tidak boleh terhijab oleh kakek kalau tidak ditentukan oleh nash dan ijma’. Padahal tidak ada nash dan ijma’ yang menetapkan saudara-saudara tersebut dapat terhijab oleh kakek.
Penyebutan kakek dengan ayah di dalam Al-Qur’an maupun hadits hanya penyebutan secara majazi. Oleh karena itu, tidak memberi pengertian bahwa kakek itu sama benar dengan ayah dalam segala hal.
Hubungan nasab dari garis anak (bunuwwah) tidak selalu rendah daripada garis bapak (ubuwwah), bahkan kadang-kadang lebih kuat daripadanya.
Terhijabnya kakek hanya oleh ayah saja, sedangkan saudara-saudara dapat terhijab oleh ayah, anak laki-laki, dan cucu laki-laki dari anak laki-laki, tidak menunjukkan bahwa kakek lebih utama daripada saudara-saudara. Sebab dari masing-masing mereka suatu saat tidak dapat terhijab dan kadang-kadang dapat terhijab. Jadi tidak dibedakan apakah penghijaban itu oleh seorang atau lebih.
Kakek dapat mewarisi dengan fard dan ashobah, sedangkan saudara-saudara hanya dengan ashobah tidak menunjukkan bahwa mewarisi dengan ashobah lebih utama daripada kakek.
Kebutuhan para Saudara yang jelas lebih muda daripada kakek terhadap harta jauh lebih besar ketimbang kakek.
Dalam permasalahan hukum kewarisan kakek bersama dengan saudara ini terjadi perselisihan pendapat sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Umm yaitu:
و قد اختلف فيه أصحاب النبي صلى الله عليه وسلم فقال أبو بكر و عائشة وابن عباس و عبد الله بن عتبة و عبد الله بن الزبير رضى الله عنهم : إنه أبٌ إذا كان معه الإِخْوَاةُ طرَحُوْا و كان المال للجد دُوْنَهُمْ .
Yaitu terdapat pendapat lain dari segolongan ulama yang dipelopori oleh Abu Bakar, dan juga diikuti oleh Ibnu Abbas, Abdullah bin Zubair, Utsman, Aisyah, Ubai bin Ka’ab, Muaz bin Jabal, Abu Musa, dan lainnya dari kalangan sahabat yang kemudian diikuti oleh Abu Hanifah, al-Muzanni, Daud dan Ibnu Munzir. Mereka berpendapat bahwa kakek menutup hak saudara, baik laki-laki atau perempuan dalam ketiga hubungannya (saudara seayah, seibu, dan kandung ).( Dian Khairul Umam,2007)
Adapun alasan yang dipakai untuk memperkuat pendapat ini antara lain:
Menganalogikan kakek dengan ayah dan dengan cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Menurut Ulama Faraid bahwa cucu laki-laki dari anak laki-laki itu dapat menduduki status anak laki-laki, ketika tidak ada ahli waris anak laki-laki, dalam menghijab saudara, atas dasar pemakaian lafad ibn secara mutlak. Oleh karena itu wajar kalau kakek shahih itu dapat menduduki status bapak, ketika bapak tidak ada, atas dasar pemakaian lafadz ab secara mutlak.
Keutamaan kakek dari pada saudara
Sabda Rasulullah SAW yang memerintahkan memberikan sisa harta peninggalan kepada orang laki-laki yang lebih utama setelah ahli waris ashabul furudh adalah tepat apabila yang dimaksud dengan laki-laki yang lebih utama itu adalah kakek. Sabda tersebut berbunyi :
حدثنا سليمان بن حَرْبٍ حدثنا وهِيْب عن غبن طاوَس عن أبيه عن إبن عبّاس رضي الله عنهما عن النبي صلى الله عليه وسلم قال : أَلْحِقُوا الفرائِضَ بِأهلها فَما بَقِيَ فَلِأَوْلى رجُلٍ ذَكَرٍ ( متفق عليه )
Hal ini karena, kakek lebih utama dari saudara berdasarkan ketentuan dalam ashobah. Bahwa ashobah dari garis ayah itu harus didahulukan daripada garis saudara. Oleh karena itu, kakek dapat menghijab saudara.
Kakek hanya terhijab oleh ayah, sedangkan saudara terhijab oleh ayah, anak laki-laki, cucu laki-laki dari anak laki-laki.
Kakek dapat mewarisi dengan dua cara, yaitu furud al-muqaddarah dan ashobah, sedangkan saudara hanya menerima melalui ashobah saja.
Dari penjelasan tentang masalah kewarisan
Komentar
Posting Komentar