BAB III
PENDAPAT DAN
DALIL ULAMA SYAFI’IYYAH DAN ULAMA HANAFIYYAH TENTANG MAHRAM ANAK DILUAR NIKAH DENGAN AYAH BIOLOGISNYA
A.
Pendapat Ulama
Syafi’iyyah dan Ulama Hanfiyah
1.
Pendiri Mazhab Syafi’i
Mazhab
syafi’i merupakan aliran Fiqih yang diidentikkan pada Imam Syafi’i sebagai Imam
Mazhab. Mazhab ini merupakan mazhab ketiga dari mazhab-mazhab fiqih yang
berkembang. Corak pemikiran mazhab ini di tengah-tengah antara mazhab Maliki
dan Hanafi karena metode istinbath hukum yang digunakan merupakan perpaduan ahlu
al-ra’yu (mazhab Hanafi) dan ahlu al-hadist (mazhab Maliki).[1]
Nama lengkap Imam Syafi’i adalah Muhammad bin Idris bin Al-Abbas
bin Ustman bin Syafi’i bin As-Sa’ib ‘Ubaid bin ‘Abdul Yazid bin Hasyim bin
Al-Muthalib bin abdul Manaf. Menurut sebagian Ulama Imam Syafi’i dilahirkan di Gazza, sebagian lagi
berpendapat Imam Syafi’i dilahirkan di Asqalan
pada tahun 150. Kemudian dibawa ibunya ke Mekkah dan wafat di Mesir
Tahun 204 H.[2]
Imam Syafi’i belajar Hadist dan Fiqih di Mekkah. Kemudian pindah ke
Madinah. Kemudian di Madinah ia mempelajari ilmu Fiqih kepada beberapa imam
Mazhab. Ia berguru kepada Imam Malik hingga Imam Malik Wafat. Di Kufah Imam
Syafi’i berguru kepada Muhammad Bin Al Hasan dan Abu Yusuf, keduanya adalah
murid Abu Hanifah. Selain keduanya Imam Syafi’i juga mempelajari Fiqih dari
Imam Ja’far Ash Siddiq dan mempelajari fatwa-fatwa Ali bin Abi Thalib melalui
Imam Ja’far.[3]
Kemudian Imam Syafi’i kembali ke Mekkah dengan membawa Fiqih Irak.
Di Masjid Al Haram, Imam Syafi’i mengajarkan fiqih dalam dua
corak, yaitu corak madinah yang beliau pelajari dari Imam Malik dan corak Irak yaitu pemikiran ahlu ra’yi yang beliau pelajari kepada
murid Abu Hanifah. Ia mengajar
di Masijd Al-Haram selama 9 tahun. Pada masa itu ia menyusun Thuruq
al-istimbath al-ahkam.
Thuruq al-istimbath al-ahkam adalah langkah-langkah penetapan hukum oleh Imam Syafi’i,
beliau menetapkan hukum pertama berdasarkan Al-Qur’an dan sunnah mengapa beliau
menempatkan sunnah satu derajat dengan Al-Qur’an karena sunnah menrupakan
penjelasan untuk Al-Qur’an, setelah itu apabila tidak ditemukan di dalam
keduanya maka beliau menetapkan hukum dengan menggunakan ijma’, dan apabila
tidak ditemukan di dalam al-Qur’an, sunnah dan Ijma’ barulah beliau menggunakan
Qiyas terhadap dalil yang terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah.
Pada tahun 195 H, Imam Syafi’i kembali ke Irak untuk melakukan
diskusi tentang Fiqih. Ia tinggal di irak untuk kedua kalinya selama dua tahun
dan beberapa bulan.
Imam Syafi’i pergi ke Irak sebanyak tiga kali dan bertemu dengan
sahabat-sahabat Imam Hanafi, terutama banyak berdiskusi dengan Muhamammad bin
Hasan murid Imam Abu Hanifah. Kemudian beliau menyebarkan mazhabnya yang
disebut Qaul qadim. Kemudian beliau pergi ke Mesir pada tahun198 H. Dan
menetap di Fustath yang terdapat Universitas Amr bin Ash beliau menyebarkan
ilmunya di tengah-tengah penduduk Mesir dengan ajarannya yang baru, disebut Qaul
Jadid. Untuk mengajarkannya beliau mengajarkan dan menyampaikan ilmu serta
pemikirannya kepada murid-muridnya, sampai Allah mewafatkannya.[4]
Di antara kitab yang beliau ajarkan adalah Al-Umm, yang
merupakan azaz dari mazhab Imam Syafi'i. Yaitu mazhab yang mengubah ijtihadnya
di Mesir. Hal ini karena beliau mendengar pendapat ulama hadist dan fiqih serta
menyaksikan adat istiadat, situasi sosial yang berbeda dengan yang beliau
saksikan di Hijaz dan Irak. Hal tersebut memungkinkan bisa mengubah arah
ijtihadnya dalam sebagian masalah yang di kenal dengan mazhab Al-Jadid.[5]
Perjalanan yang telah di lakukan oleh Imam Syafi'i serta
pengalamannya telah memberi pengaruh yang kuat terhadap beliau untuk mengadakan
suatu mazhab yang khusus. Pertama, mazhab Al-Iraq yang disebut mazhab Qadim,
yang sudah dibangunnya selama di Mekkah pada usia 15 tahun. Kedua, mazhab Al-Misri,
yang di sebut mazhab Al-Jadid.
Perjalanan ini menyebabkan beliau dapat memahami corak pemikiran
fiqih Ahl Ra’yu dan ahl Hadist. Dengan demikian, beliau tidak fanatik
terhadap salah satu mazhab bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penengah
antara kedua metode berpikir ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan
metode yang tepat menjawab pendapat yang tidak Manshuh. Begitu pula ia
berpendapat bahwa hadis ahad didahulukan atas Qiyas.[6]
Di antara Ulama yang menjadi guru Imam Syafi’i adalah:
a.
Ketika
di Kota Mekkah Imam Syafi’i berguru kepada beberapa ulama, Imam Al-Lays seorang
guru bahasa arab dan ilmu Mantiq dan sebagai ahli fiqih Mesir. Muslim bin
Khalil Al-Zijni, Sufyan Bin Uyainah Al-Hilali dan lain-lain.
b.
Ketika
di Kota Madinah Imam Syafi’i berguru kepada Imam Malik bin Anas dan Ibrahim bin
Abi Yahya.
c.
Ketika
dikota yaman imam Syafi’i berguru kepada Matraf bin Mazin.
d.
Ketika
berada di Irak Imam Syafi’i berguru kepada Muhammad bin Ali Hasan Murid Abu
Hanifah, Abdul Wahab bin Abdul Majid Al-Basri, dan Ulama lainnya.[7]
Adapun Ulama-ulama besar yang menjadi murid Imam Syafi’i di
antaranya:
1)
Ahmad
bin Khalil Al-Khalal
2)
Imam
Ahmad bin Hambal
3)
Ahmad
bin Muhammad bin Said As-Sairati
4)
Muhammad
bin Abdullah bin Hanan
5)
Ishaq
bin Rahawaih
6)
Ismail
bin Yahya Al-Muzani
7)
Al-Husain
bin Ali bin Yazid Al-Karabisyi
8)
Rabi
bin Sulaiman Al-Jizi
Pada kurun
waktu sesudahnya, fiqih Syafi’i di kembangkan oleh beberapa Ulama besar,
seperti:
1)
Abu
Ishaq Al-Fairuzabidi (476 H)
2)
Abu
Hamid Al-Ghazali (505 H)
3)
Abdul
Al-Qasim Ar-Rafi’i (660 H)
4)
Muhyiddi
An-Nawawi (676 H)
Imam
Syafi’i di dalam hidupnya membuat bebrapa karya diantaranya ketika ia berada di
irak ia menulis Kitab Al-Hujjah (Qaul Qadim), selain itu ia juga
mengarang kitab Ar-Risalah yang ia revisi ketika berada di Mesir. Selain
kitab-kitab tersebut Imam Syafi’i juga menulis kitab yang berjudul Ahkam
Al-Qur’an, Ikhtilat Al-Hadist, Ibthal Al-Istihsan, Ijma Al-Ilm, Kitab Al-Qiyas,
Al-Mabsuth, Ikhtilaf Malik wa As-Syafi’i, Asy-Syabq wa Al Ramyu, Fadhai
Al-Quraisy, Ar-Raad ala Muhammad bin Al-Hasan, dan Al-Umm.[8]
Adapun
tipologi pemikiran Imam Syafi’i atau Metode Istinbath Imam Syafi’i
didasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah, Ijma’ dan Qiyas. Fiqih Syafi’i merupakan
campuran antara fiqih ahli Ra’yu dan ahlu Hadist. Perpaduan ini ia bangun dalam
kitab ushul fiqih yang dikenal dengan aliran mutakallimin (kalam).
Imam Syafi’i menggunakan Al-Qur’an sebagai sumber hukum dan
syari’at. Lalu ia merujuk pada hadist sebagai penetapan hukum. Jika hadis di anggap
sudah cukup dalam menetapkan hukum, ra’yu ia kesampingkan.
Imam syafi’i menggunakan Iijma’ sebagai penetapan hukum
setelah hadist karena secara empiris, fiqihnya mengarahkan ijma’ sebagai
hujjah, bahkan lebih mengutamakan ijma’ atas hadist yang disampaikan
satu orang (hadist ahad).
Selanjutnya Imam Syafi’i menetapkan qiyas dalam metode istinbath-nya.
Dapat dikatakan bahwa Imam Syafi’i adalah orang pertama yang menjelaskan qiyas
secara terperinci. Imam Syafi’i
menolak metode istihsan Abu Hanifah karena ia menganggap istihsan tidak
di sandarkan pada Al-Qur’an.[9]
Sedangkan metode ijtihad Imam Syafi’i dan pola pikir Imam Syafi’i
secara garis besar dapat dilihat dari kitab Al-Um, yang menguraikan
sebagai berikut:
العلم طبقات شتى. الأولى, الكتاب والسنة إذاثبتت : ثم
الثانية: الإجماع فيماليس فيه كتاب ولاسنة : والثالثة: أن يقول بعض أصحاب رسول
الله صلى الله عليه وسلم قولا ولانعلم له مخالفة منهم. والرابعة, اِختلاف أصحاب
النبي صلى الله عليه وسلم فى ذلك. الخامسةز القياس ولايصار إلى شيئ غير الكتاب
والسنة وهما موجودان وإنما يؤخذ العلم من الأعلى[10]
Selanjutnya istidlal Imam Syafi’i
semuanya terangkum dalam kitab Ar-Risalah sekaligus merupakan buku
metodologisnya yang pertama terutama ushul fiqih.
Dari kutipan di atas, tampaknya Al-Qur’an,
hadist, ijma’, dan qiyas menjadi faktor utama dalam landasan
mazhab Imam Syafi’i. Sedangkan metode lainnya, seperti istinbath, istihsan,
saddu dzari’ah hanyalah metode dalam merumuskan dan menyimpulkan
hukum-hukum dari sumber utamanya (Al-Qur’an dan hadis).[11]
2.
Pendapat Ulama Syafi’iyyah
Penulis menjadikan Ulama Syafi’iyyah dan Ulama Hanafiyyah sebagai
batasan analisa. Dengan demikian, maka penulis bermaksud memaparkan bagaimana
pendapat Ulama’ Syafi’iyyah dan Ulama Hanafiyyah yang berkaitan dengan status mahram
anak diluar nikah (zina) dengan ayahnya.
Maka penulis memulai membahas tentang pendapat Ulama Syafi’iyyah,
yang penulis maksud dengan Ulama Syafi’iyyah adalah terbatas pada Ulama fiqih
Syafi’i pada kitab yang penulis jadikan bahan primer, yaitu kitab Al-Umm
karya Al Imam Abi abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i, kitab Al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab karya Al Nawawi Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, dan kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam
Mawardi.
Anak perempuan yang lahir karena zina menurut Ulama Syafi'iyyah
boleh di kawini oleh ayah biologisnya para Ulama Syafi'iyyah berpendapat dengan
berbagai pendapat yang mereka kemukakan, maka penulis
memulai dengan pendapat pengarang Kitab Al-Umm sekaligus pendiri
mazhab Syafi’i yaitu Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Idris As-Syafi’i atau yang
di kenal dengan Imam Syafi’i.
Imam Syafi’i menyebutkan di dalam kitab Al-Umm bahwa anak
perempuan yang lahir karena zina boleh bagi ayah biologisnya untuk menikahinya
tetapi hukumnya makruh. Menurut pendapat Imam syafi’i lagi jika seorang ayah
biologis mengawini anaknya dari hasil zina maka perkawinannya sah dan tidak dipasakh
seperti kejadian
yang telah di putuskan oleh Rasulullah SAW.
قال الشافعي : فإن ولدت امرأة حملت من الزنى اعترف الذي زنا
بها أو لم يعترف فارضعت مولودا فهو ابنها ولا يكون بن الذي زنى بها وأكره له في الورع
أن ينكح بنات الذي ولد له من زنا كما أكرهه للمولود من زنا وإن نكح من بناته أحدا لم
أفسخه لأنه ليس بِابنِه في حكمِ رسول اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فإن قال قَائِلٌ فَهَلْ
مِنْ حُجَّةٍ فِيْمَا وَصَفْتَ قِيلَ نَعَمْ قَضى النبي صلى الله عليه وسلم بِاِبْنِ
أَمَةَ زَمْعَةَ لِزَمْعَةَ وَأَمَرَ سَوْدَةَ أَنْ تَحْتَجِبَ مِنهُ لِما رَأَى منه
مِنْ شَبْهِهِ بِعُتْبَةَ فلم يَرَهَا وَقَدْ قَضَى أنه أَخُوها حَتَّى لَقِيَتِ اللهَ
عزوجل لِأَنَّ تَرْكَ رُؤْيَتِهَا مُبَاحٌ وإِنْ كان أَخًا لَهَا وكذلك تَرْكُ رُؤْيَةِ
الْمَوْلُودِ من نِكَاحِ أُخْتِهِ مُبَاحٌ وإنما مَنَعَنِي من فَسْخِهِ أنه ليس بِاِبْنِهِ
إذا كان مِنْ زِنَا.[12]
Menurut pendapat Imam Syafi'i di atas anak
yang lahir dari hasil zina tidak menjadi mahram bagi ayah biologisnya
berdasarkan sebuah hadist yang menjelaskan bahwa Nabi SAW memutuskan tentang
anak zina tidak menjadi mahram bagi ayah biologisnya.
(قال الشافعى)
رحمه الله تعالى وإذا زانا الرجل بإمرأة فلا تحرم عليه هى إن اراد أن ينكحوها
ولاأمها ولاابنتها لأن الله عز وجل إنما حرم بالحلال والحرام ضد الحلال.[13]
Imam Syafi'i menjelaskan bahwa seorang laki-laki apabila berzina dengan seorang
perempuan maka di bolehkan baginya menikahi wanita yang berzina dengannya, ibu dan
anak dari wanita yang berzina dengannya, karena menurut Imam Syafi'i Allah
Ta’ala mengharamkan perempuan untuk di nikahi dengan sebab yang halal (akad
nikah) tidak dengan sebab yang haram (zina).
Imam Syafi'i menyatakan dalil yang beliau gunakan mengenai anak
yang di dapat dari perzinahaan tidak menjadi mahram dan tidak di nasabkan bagi
ayah biologisnya yakni Al-Qur’an, hadist, perkataan Shahabat, dan qiyas. Sebagaimana
yang beliau katakan di dalam kitab Al-Umm:
فقلت له استدلالا بكتاب الله عز وجل والقياس على ما اجمع
المسلمون عليه بما هو فى معناه والمعقول, والأكثر من قول اهل دار السنة والهجرة.[14]
Di dalam kitab Al-Umm Imam Syafi'i juga menjelaskan bahwa
Allah SWT mejadikan nikah sebagai sesuatu yang disunnatkan dan menjadikan
sebuah pernikahan sebagai sebab terjadinya nasab, menyebabkan mahram,
saling waris, nafkah, dan membolehkan segala yang diharamkan sebelum
pernikahan. Dan Allah ta’ala menjadikan zina pekerjaan yang di haramkan maka
sesuatu yang haram tidak bisa diqiyaskan dengan sesuatu yang halal.
Seperti menqiyaskan permasalahan, seorang laki-laki yang mentalak istrinya
sebanyak tiga kali, maka ia boleh kembali kepada istrinya jika istrinya sudah
menikah lagi dan sudah melakukan hubungan suami istri dengan suami barunya,
tetapi seorang suami tidak bisa kembali menikah dengan istri yang telah ia
talak sebanyak tiga kali, meskipun istrinya telah melakukan zina dengan
laki-laki lain karena sesuatu yang haram (zina) tidak bisa di Qiyaskan dengan
yang halal (akad nikah).
أن الله تعالى ندب إلى النكاح وأمر به وجعله سبب النسب
والصهر والألفة والسكن وأثبت به الحرام والحق لبعض على بعض بالمواريث والنفقة,
والمهر وحق الزوج بالطاعة وإباحة ماكان محرما قبل النكاح. وأن الله تعالى حرم
الزنا. ولاتجعل الحلال الذى هو نعمة قياسا على الحرام الذى هو نقمة. وأن الله
تعالى قال فى المطلقة الثالثة ( فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلَا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدِ
حَتَّى تَنْكِحُ زَوْجًا غَيْرَهُ) وجآءت السنة بأن يصيبها الزوج الذى نكح فلا
يقاس ان جاء معها رجل بزنا.[15]
Di dalam kitab Al-Minhaz karangan Zakaria Yahya bin Syaraf
al-Nawawi disebutkan anak perempuan yang lahir dari perempuan yang berzina
dengannya halal baginya untuk menikahinya.
Khatib Asy Syarbini menjelaskan perkataan Imam Nawawi di dalam
kitab Mugni Al-Muhtaz anak perempuan hasil zina halal bagi ayah
biologisnya untuk menikahinya, meskipun anak tersebut bisa dibuktikan atau
tidak bahwa berasal dari air maninya. Karena menurutnya tidak
ada kehormatan bagi air mani yang keluar karena sebab zina, ini bisa dilihat
dari hilangnya semua hukum nasab dari anak zina dengan ayahnya, maka tidak bisa
di bagi hukum dengan menghukumkan terjadinya sebagian hukum nasab (keharaman
menikah) dan tidak menghukumkan sebagian(waris dan lain-lain).
والمخلوقة من ماء زناه سواء أكانت المزني بها مطاوعة أم لا,
سواء تحقق أنها من مائه أم لا, تحل له لأنها أجنبية عنه, إذ لاحرمة لماء الزنا
بدليل انتفاء سائر الأحكام النسب من إرث وغيره عنها, فلا تتبعض الأحكام كما يقول
به الخصم.[17]
Dan Imam Nawawi berpendapat
di dalam kitabnya Al-Majmu Syarh
Al-Muhazzab apabila seorang
laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan lahir dari akibat hubungan
tersebut seorang anak perempuan maka boleh laki-laki tersebut menikahi anaknya
dari hasil zina tetapi hukumnya makruh sebagaiman pendapat Imam Syafi'i yang
disebutkan oleh Imam Nawawi.
Imam Nawawi juga mengatakan di dalam kitabnya Al-Majmu Syarh
Al-Muhazzab bahwa sebagian murid Imam Syafi'i berpendapat makruh menikahi
anak dari hasil zina oleh ayah biologisnya agar terlepas dari perbedaan
pendapat dengan Imam Hanafi yang berpendapat haram menikahi anak zina oleh ayah
biologisnya tetapi tidak menjadikan hubungan nasab. Mereka juga berpendapat
tidak di haramkan bagi laki-laki menikahi anaknya dari hasil zina karena anak
yang dilahirkan dari zina tidak menyebabkan nasab dengan ayah biologisnya
sebagaimana pendapat Imam Hanafi, dengan demikian jika zina tidak menimbulkan
hubungan nasab maka tidak ada keharaman menikah antara anak hasil zina dengan
ayah biologisnya, seperti anak yang lahir sebelum enam bulan dari perbuatan
zina juga tidak dinasabkan kepada laki-laki yang berzina dengan ibunya.
ومنهم من قال إنما كره ليخرج من الخلاف لأن أباحنيفة يحرمها
فعلى هذا لو تحقق أنها منه لم تحرم وهو الصحيح لأنها ولادة لايتعلق بها ثبوت النسب
فلم يتعلق بها التحريم كالولادة لما دون ستة اشهر من وقت الزنى.[19]
Di jelaskan kembali di dalam kitab Al-Majmu Syarh Al-Muhazzab oleh
Imam Nawawi jika seorang laki-laki menikah dengan seorang perempuan yang pernah
berzina dengan ayahnya atau anaknya maka pernikahannya sah karena syarat sah
nikah adalah perempuan yang akan dinikahi bukan orang yang diharamkan baginya
untuk menikahinya dan perempuan yang pernah berzina dengan ayah atau anaknya
tidak menjadi mahram baginya.
فلو عقد الرجل على من زنى بها أبوه أوانه كان النكاح صحيحا
لأن من شرط صحة النكاح ألا تكون المرأة
محرمة على الرجل, والمرأة التى زنى بها الأب أو الابن غير محرمة فيصح النكاح.[20]
Disebutkan pula di dalam kitab ini mengutip dari perkataan Imam
Romli beliau berpendapat seorang perempuan yang lahir karena sebab zina boleh
bagi ayah biologisnya untuk menikahinya, karena perempuan yang lahir karena
sebab zina bukan perempuan yang haram baginya untuk dinikahi disebabkan tidak
terjadi hubungan waris dan selainnya sebagaimana hubungan nasab. Sekalipun bisa
dibuktikan bahwa itu benar-benar anaknya. Karena Allah SWT telah memutus nasab
anak yang lahir karena sebab zina dengan ayahnya.
قال ابن شهاب الدين الرملى: و المخلوقة من ماء زناه تحل له,
لأنها أجنبية عنه إذ لا يثبت لها توارث ولا غيره من احكام النسب, وإن اخبره صادق
كعيس صلى الله عليه وسلم وقت نزوله بأنها
من مائه, لأن الشرع قطع نسبها عنه, فلا نظر من ماء سفاح.[21]
Imam Nawawi juga menjelaskan di dalam kitab Asnal Mathalib Fi
Syarhi Al-Raudha Al-Thalib tentang anak zina seperti penjelasan beliau dalam kitab diatas:
فرع له نكاح بنت من زنى بها ولو كانت من ماؤه
إذ لا حرمة لماء الزنا فهي أجنبية عنه شرعا بدليل انتفاء سائر أحكام النسب عنها
سواء أطاوعته أمها على الزنا أم لا ويكره ذلك خروجا من خلاف من حرمها عليه.[22]
Di dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir Imam
Mawardi berpendapat bahwa anak yang lahir karena zina maka menjadi anak bagi
perempuan yang melahirkan anak zina tersebut tetapi tidak menjadi anak bagi
laki-yang berzina dengannya, berdasarkan Hadist Nabi SAW:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهَا قال النبي صلى الله عليه وسلم الوَلَدُ لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ
الْحَجَرُ (رواه البخاري والمسلم)[23]
Karena menurut Al-Mawardi anak yang dilahirkan karena zina
dijadikan dari air mani perempuan yang melahirkan secara pasti, tetapi
kemungkinan dijadikan dari air mani laki-laki yang berzina dengannya hanya
dengan perkiraan oleh karena itu dinasabkan anak
hasil zina dengan ibunya tidak dinasabkan dengan ayahya. Seorang anak hanya
bisa dinasabkan dengan seorang ayah apabila telah terjadi pernikahan yang sah
karena kemungkinan anak yang dilahirkan istrinya dari dirinya sangat besar.
Karena tidak dinasabkannya anak perempuan hasil zina dengan ayah biologisnya maka
boleh bagi laki-laki yang berzina dengan perempuan yang melahirkan anak zina
tersebut menikahi anaknya dari hasil zina.
فإذ تقرر ما وصفنا من الزنا لا يحرم النكاح, فجاءت الزانية
بولد من زنا كان ولد الزانية دون الزانى. وإنما لحق بها دونه: لأنه مخلوقة منها عيانا
ومن الأب ظنا فلحق بها ولد الزنا والنكاح للمعاينة وضعهما لهما, ولحق بالأب ولد
النكاح دون الزنا لغلبة الظن بالفراش فى النكاح دون الزنا, وإذالم يخلق ولد الزنا
بالزانى وكانت ثيبا جازا للزانى أن نتزوجها عند الشافعى.[24]
Lebih jelas lagi diterangkan dalam kitab Syarh al Bahjah al
Waridiyyah karya Imam Ibnu Al Wardi di dalam kitab ini dijelaskan jika
seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan dan lahir dari hubungan
tersebut anak perempuan maka halal bagi laki-laki tersebut menikahi anak perempuan tersebut, meskipun ia yakin anak
tersebut adalah anaknya karena sebab zina. Karena tidak ada kehormatan bagi air
mani yang keluar karena sebab zina dan karena hilang
sekalian hukum nasab dari anak tersebut.
فَلَوْ زَنَى بِامْرَأَةٍ فَوَلَدَتْ بِنْتًا جَازَ لَهُ
نِكَاحُهَا وَإِنْ تَيَقَّنَ أَنَّهَا مِنْهُ إذْ لَا حُرْمَةَ لِمَاءِ الزِّنَا ،
فَهِيَ أَجْنَبِيَّةٌ عَنْهُ شَرْعًا بِدَلِيلِ انْتِفَاءِ سَائِرِ أَحْكَامِ
النَّسَبِ عَنْهَا ، نَعَمْ يُكْرَهُ ذَلِكَ خُرُوجًا مِنْ الْخِلَافِ ، وَإِذَا لَمْ
تَحْرُمْ عَلَى الْأَبِ فَغَيْرُهُ مِنْ جِهَتِهِ أَوْلَى ، وَخَرَجَ بِالْأَبِ
الْأُمُّ فَيَحْرُمُ عَلَيْهَا وَعَلَى سَائِرِ مَحَارِمِهَا نِكَاحُ ابْنِهَا
مِنْ الزِّنَا لِثُبُوتِ النَّسَبِ وَالْإِرْثِ بَيْنَهُمَا[25]
Setelah penulis menguraikan pendapat-pendapat Ulama Syafi'iyyah dan
melihat alasan yang mereka kemukakan penulis dapat menarik kesimpulan, bahwa
menurut Ulama Syafi'iyyah anak yang lahir dari hasil perzinahan boleh menikah
dengan ayah biologisnya, disebabkan karena tidak ada kehormatan bagi air mani
yang keluar karena sebab zina, karena sesuatu yang haram (zina) tidak bisa
mengharamkan yang halal (nikah), karena bagi anak zina dengan ayah biologisny
tidak terjadi hubungan waris dan lainnya dari sekalian hukum-hukum nasab dan
dengan dalil berupa Al-Qur’an, hadist, qiyas.
3.
Pendiri Mazhab Hanafi
Secara politik Abu Hanifah adalah manusia yang hidup pada dua
generasi. Ia dilahirkan di Kufah pada tahun 80 H pada zaman dinasti Umayyah dan
Wafat pada tahun 150 H pada dinasti Abbasiyyah. Ia melakukan ibadah haji
sebanyak 55 kali.
Nama lengkap Abu Hanifah adalah Nu’man bin Tsabit bin Zauti bin
Mah. Ia meninggal dunia pada tahun dilahirkannya Imam Syafi’i dan dikuburkan di
pemakaman umum Khairazan.[26]
Ulama berbeda pendapat mengenai tempat asal
nasab Abu Hanifah, pendapat mereka bemacam-macam ada yang berpendapat nasabnya
berasal dari Paris, Babil, Anbar, Nasa dan ada yang berpendapat nasabnya
berasal dari Tarmaz. Dan ulama juga berbeda pendapat apakah nasabnya berasal
dari Budak atau orang yang merdeka.
Imam Abu Hanifah pernah bertemu dengan Sahabat
Anas ibn Malik ketika Anas ibn Malik datang ke Irak. Ketika berumur 13 tahun
Abu Hanifah melaksanakan umrah ketika itu beliau melihat sahabat-sahabat Nabi yang
masih hidup dan beliau juga bertemu dengan murid-murid Abdullah ibn Mas’ud R.A.
Abu Hanifah besar di keluarga yang berprofesi sebagai
pedagang beliau juga dididik sebagai pedagang, beliau juga dikenal orang
sebagai pedagang yang sangat jujur. Beliau tidak pernah mengumpulkan harta
kecuali beliau sedekahkan kepada fakir miskin dan murid-muridnya.
Ketika itu ia bingung apakah menuntut ilmu atau berdagang
bersama ayahnya, ketika itu Amir al Sya’bi melihat Abu Hanifah adalah seseorang
yang pintar dan benar pemikirannya maka beliau berwasiat kepada Abu Hanifah
agar ia menuntut ilmu dan memikirkan tentang ilmu. Maka Abu Hanifah mengikuti
apa yang di wasiatkan Amir al Sya’bi dan mencurahkan seluruh kemampuannya untuk
ilmu karena ia sangat suka dengan ilmu.
Mulailah ia mempelajari hadist, lugat dan
adab, kemudian ia mempelajari ilmu kalam dengan sangat mendalam sampai ia berdebat
dengan kelompok yang berbeda-beda, dan mendebat mereka dalam permasalahan
aqidah.
Kemudian Abu hanifah berpindah untuk mempelajari ilmu
fiqh, ia belajar kepada Hammad ibn Abi Sulaiman selama tiga belas tahun,
sehingga ia menguasai ilmu fikih dan menjadi ulama yang diikuti pendapatnya,
setelah itu ia mengganti Gurunya memimpin Madrasah Al Ra’yi. Dan berkumpul di sisinya
orang-orang yang gemar menuntut ilmu fiqih. Dan lahir dari Imam Hanafi
ulama-ulama seperti Abu Yusuf, Muhammad, dan Zafara dan bersama mereka
berdirilah mazhab Hanafiyyah.[27]
Karangan Imam Hanafi yang di kumpulkan oleh
murid-muridnya adalah Al-Makharij, Al-Fiqh, Al-Musyad dan Al-Fiqh Al-Akbar.
Ia menyukai kebebasan berpikir, bahkan ia
memberikan kebebasan kepada sahabat-sahabatnya untuk mengajukan keberatan
terhadap jalan pemikirannya.[28]
Abu Hanifah memiliki beberapa guru di Kufah, Basrah, dan Mekah:
a.
Guru
Abu Hanifah di Kufah, Hammad ibn Abi Sulaiman, Salamah bin
Kuhaib, Muharib bin Dhithar, Abu Ishaq Sab’i, Aun bin Abdullah, Samak bin Hard,
Amr bin Urah, Mansur bin Al-Ma’mar, A’mash, Ibrahim bin Muhammad, Adi bin
Tsabit Al-anshari, Atha bin Saib, Musa bin Abi Aishah dan Alqamah bin Murthid.
b.
Guru
Abu Hanifah di Basrah, Hasan Basri, Shu’bah, Qatadah, Abd Al-Karim bin Umayyah,
dan Asim bin Sulaeman Al-Ahwal.
c.
Guru
Abu Hanifah di Mekah, Atha bin Abi Rabbah.
d.
Di
Madinah Abu Hanifah berguru kepada, sulaeman dan Salim bin Abdilla.
Adapun
murid-murid Imam Hanafi yang terkenal adalah Abu Yusuf lahir di Kufah tahun 113
H dan wafat 182 H. Ia mengarang beberapa kitab di antaranya Al-Kharraj, Al-Jamawi, Ar-Radd ala
Siari al Aujai’, Ikhtilafi Ibn Laila Wa Abu Hanifah, Al-Amali, Al-Atarfi
Adilati Alfiqh. Selain Abu Yusuf adalah Asy Syaibani, Asy-Syarakhii, dan A’la Udin Abi
Bakar bin Mas’ud Al-Kasani Al-Hanafi.[29]
Adapun
tipologi atau metode ijtihad Abu Hanifah salah satunya adalah istimbath, yang
terkenal dari Abu Hanifah adalah penggunaan akal sehat, bahkan dalam bebrapa
hal, ia seperti mementingkan pertimbangan akal daripada hadis. Urutan metode
pemikiran Abu Hanifah terlihat dari pernyataannya:
“Saya
mendasarkan pemikiran pada kitab Allah apabila saya mendapatkannya. Jika tidak
mendapatkannya, saya mendasarkan diri pada sunnah rasul dan atsar-atsarnya yang
sahih dan masyhur dari orang-orang yang terpercaya. Apabila hanya mendapatinya
dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul, saya berpegang pada perkataan sahabat. Saya
ambil yang saya kehendaki dan saya tinggalkan yang saya tidak kehendaki. Saya
tidak keluar dari perkataan sahabat kepada perkataan orang lain. Apabila
keadaan telah sampai kepada Ibrahim Al-Nakhai’, As-Sa’bi, Al-Hasan, Ibn Siri,
dan Sa’id bin Musayyab, saya pun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”[30]
Menurut Sahl bin Muhazim, Abu Hanifah berpegang kepada riwayat yang
terpercaya, yaitu orang-orang yang menjauhkan diri dari keburukan dan
memerhatikan muamalah sesama manusia serta kebiasaan(u’ruf).
Selain itu Abu Hanifah juga menggunakan Qiyas, jika tizdak
ada dalam qiyas ia berpegang kepada istihsan selama itu dapat
dilakukan. Jika tidak dipahami dari istihsan ia berpegangn kepada ‘uruf.
Dapat dipahami metode pemikiran Abu Hanifah yang dikembangkan dalam
Mazhabnya secara berurutan meliputi kitabullah, sunnah tetapi hadis-hadis yang
benar-benar sahih dan mu’tamad saja yang dijadikan sandaran selain itu juga
berdasarkan fatwa para sahabat, qiyas, dan urf.[31]
Abu Hanifah adalah satu-satunya Imam Mazhab yang berkebangsaan
bukan Arab. Selain itu ia juga tinggal di kufah
yang jauh dari pusat peredaran hadis. Kalaupun hadis beredar itu hanya karean
alasan politik. Dan menjadikan kufah tempat pemalsuan hadis.
Faktor sosial historis tersebut yang mempengaruhi metode pemikiran
Abu Hanifah adalah:
a.
Hadis-hadis
yang berada di Irak tidak sebanyak di Hijaz sehingga para fuqaha Irak dituntut
untuk mempergunakan akal dan berusaha memahami pengertian nash dan illat
sebagai suatu penetapan suatu hukum dari syari’at.
b.
Irak
merupakan pusat pergolakan politik sehingga para fuqaha dituntut berhati-hati
dalam menerima periwayatan hadis.
c.
Secara
kultural, Irak termasuk ke dalam rumpun kebudayaan Persia sehingga hal ini pun
menjadi salah satu pertimbangan para fuqaha untuk menciptakan syari’at yang
memiliki basis kultural yang dipengaruhi budaya Persia.[32]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan Abu Hanifah
adalah:
1)
Kitab
Allah (Al-Qur’an).
2)
As-Sunnah
dan Atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di kalangan para
ulama yang ahlu.
3)
Fatawa-fatwa
dari sahabat.
4)
Ijma’.
5)
Al-qiyas.
6)
Al-Istihsan.
7)
Al-‘Urf.[33]
Selain pengambilan istimbath hukum yang
sedikit berbeda dengan ulama Mazhab yang lain ulama Hanafiyyah juga memiliki
kajian ushul fikih yang berbeda dengan ulama yang lain.
Aliran Hanfiyyah di namakan aliran fuqaha’, karena aliran ini dalam membangun teori ushul
fiqhnya banyak di pengaruhi oleh
masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya,
mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap
masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan
teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan
hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’
tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun
sesuai dengan hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga
tidak satu kaidah pun yang tidak bisa diterapkan. Aliran ini juga disebut
dengan aliran kaum juris (fuqaha) dengan menggunakan metode induktif,
yaitu menetapkan teori-teori umum yang didasarkan pada hukum-hukum furu’.[34] Aliran
fuqaha dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fiqih.
Dalam merumuskan kaidah ushul fiqih mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat
fiqih Abu Hanifah dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya
dengan contoh-contoh.[35]
Aliran ini juga disebut aliran yang
menggunakan metode ushul Hanafiyah karena mengarah pada penyusunan ushul fiqih
yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’ dan
berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini
berarti bahwa pengikut madzhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fiqih
yang dicapai oleh ulama pendahulu madzhabnya. Mereka
mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan madzhab mereka. Ulama
fuqaha yang lebih banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah.[36] Oleh karena itu, metode ushul fiqh yang digunakan dalam aliran ini
disebut aliran Hanafiyah.
Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin yang sama
sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhabnya, sehingga
sering terjadi pertentangan kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang
kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu
kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubah
kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’
yang mereka hadapi.[37] Misalnya,
mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i
(pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadis ahad
(bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena
hadits ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum
tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan
dikhususkan oleh yang zhanni.
Penyusunan seperti ini dilakukan oleh aliran Hanafiyyah
karena Abu Hanifah tidak meninggalkan buku ushul fikih. Usul fikih mazhabnya
disimpulkan kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwa para muridnya.
Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk,
bukan sebaliknya dimana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya
dengan kaidah-kaidah ushul fikih seperti dalam aliran mutakallimin.[38]
Dimana ciri khas aliran Hanafiyyah bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fikih
mereka semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyususnan ushul fikih mereka
terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam mazhab
mereka. Pendekatan seperti ini memberi peluang kepada para ulamanya untuk
melahirkan kaidah-kaidah baru yang sebelumnya belum diangkat oleh ulama
mazhabnya sendiri. Kendati demikian, kaidah-kaidah baru tersebut, pada faktanya
tidak senantiasa terkait dengan kaidah-kaidan ulama mazhabnya.[39]
Ini tentu berbeda dengan aliran Syafi’iyyah yang tidak
berpedoman pada hukum Furu’ dalam
menyusun ushul fikih mereka. Konsekwensinya tidak jarang terjadi pertentangan
ushul fikih Syafi’iyyah dengan hukum furu’ dan kadangkala kaidah yang
disusun aliran ini sulit diterapkan. Abu zahrah menyatakan bahwa perbedaan
prinsipil antara aliran kalam dengan aliran Hanafiyah, terletak pada posisi
kaidah-kaidah ushul ulama madzhabnya. Kaidah-kaidah imam al-Syafi’i sebagai
tokoh utama aliran kalam, bagi para pengikutnya merupakan kaidah-kaidah umum
yang langsung dapat dikembangkan pada berbagai furu’ yang mereka hadapi.
Sementara kaidah-kaidah Abu Hanifah, bagi para pengikutnya banyak
dipergunakan sebagai rujukan dalam perumusan kaidah-kaidah baru.[40]
Meskipun aliran ushul fiqih ini tampaknya
statis serta sedikit manfaatnya lantaran semata-mata untuk memperthankan
madzhab tertentu, akan tetapi secara umum madzhab metode tersebut mempunyai
pengaruh besar terhadap pemikiran fiqih, pengaruh tersebut antara lain sebagai
berikut:
a. Meskipun metode tersebut semata-mata untuk mempertahankan madzhabnya, Akan
tetapi sebagai metode untuk berijtihad ia merupakan kaidah-kaidah yang berdiri
sendiri, sehingga dapat dijadikan perbandingan antara kaidah-kaidah tersebut,
dengan kaidah-kaidah yang lain. Dengan
mengadakan perbandingan, maka secara obyektif dan diperoleh metode yang lebih
benar dan kuat.
b. Karena metode tersebut diterapkan terhadap masalah-masalah furu’,
maka ia bukan merupakan pembahasan yang universal dan kaidah-kaidah yang umum
yang dapat diterapkan pada masalah-masalah furu’. Dengan mengkaji universalitas kaidah-kaidah tersebut, akan
memberikan kekuatan tersendiri.
c. Mengkaji ushul fiqih dengan sistem tersebut, sama dengan mengkaji
perbandingan masalah-masalah fiqih. Kajian tersebut bukannya membandingkan
antara masalah-masalah pokok. Sehingga seseorang tidak hanya mengkaji
masalah-masalah cabang yang tidak ada kaidahnya, tetapi memperdalam masalah-masalah
yang bersifat universal untuk menggali hukum masalah-masalah furu’ (juz’i).
d. Kajian ini memberikan kaidah pada masalah-masalah furu’,
seperti masalah-masalah pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan
hukum, merinci masalah-masalah furu’, serta memberikan ketentuan hukum
terhadap permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum pernah terjadi pada
masa imam-imam terdahulu. Tentu hukum-hukum tersebut tidak akan menyimpang dari
ketentuan madzhab mereka, karena hukum-hukum tersebut merupakan pokok yang
menetapkan hukum-hukum masalah furu’.[41]
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa dengan berkembangnya madzhab
tersebut, mak menjadi luaslah cakrawala hukum. Demikian juga para ulamanya
tidak hanya mandeg pada hukum-hukum yang diriwayatkan dari para imam madzhab
saja, tetapi mereka juga mengembangkan hukum-hukum tersebut dan menetapkan
hukum terhadap masalah-masalah yang terjadi dengan menggunakan metode dari para
imam terdahulu.
Adapun kitab-kitab ushul fiqih yang disusun menurut aliran ini
adalah:
1) al-Ushul karya Abil Hasan al-Karkhi (wafat 340 H).
2) Ushulul Fiqh karya Abu Bakar ar-Razi yang terkenal dengan nama al-Jashshash
(wafat 380 H).
3) Ta’sisun Nazhar karya ad-Dabusi (wafat 430 H).
Setelah itu munculah seorang ulama besar yang bernama al-Bazdawi (wafat
483 H). Dia menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul al-Bazdawi,
sebuah kitab usul fiqih yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut
terbilang kitab yang paling jelas dan mudah yang disusun menurut metode madzhab
Hanafi. Kemudian muncul pula imam as-Sarkhasi penyusun kitab al-Mabshuth
yang menyusun sebuah kitab yang senada dengan kitab al-Bazdawi, hanya
lebih luas dan mendetail. setelah itu terbitlah beberapa kitab yang disusun
menurut metode tersebut yang meresume dan menjabarkan kitab-kitab terdahulu,
seperti kitab al-manar.[42]
4.
Pendapat Ulama Hanafiyyah
Selain Ulama Syafi'iyyah penulis juga menjadikan Ulama Hanafiyyah
sebagai batasan pembahasan, selain itu yang penulis maksud dengan Ulama
Hanafiyyah yaitu terbatas pada Ulama Fiqih mazhab Hanafi pada kitab yang
penulis jadikan bahan primer, yaitu kitab Al-Mabsuth karya Syams Al Din
Al Syarkhasi, kitab Bada’i Al Sana’i karya ‘Alauddin al Kasaniy, dan
kitab Syarh Fath al Qadir karangan ibnu al Himam al Hanafi.
Syam al Din al Sarhkasi menjelaskan dalam kitabnya al-Mabsuth bahwa
anak perempuan hasil zina pada dasarnya menempati kedudukan nasab dengan bapak
biologisnya hanya saja anak tersebut tidak boleh disandarkan kepadanya. Karena
memutus nasab di sini secara syar’i dimaksudkan agar diketahui bahwa air maninya
menjadi sia-sia sehingga mengandung arti mencegah perbuatan zina.
فأما النسب فعندنا أحكام النسب تثبت ولكن الانتساب لايثبت
لأنه لمقصود الشرف به ولايحصل ذلك بالنسبة الى الزانى [43]
Karena terciptanya seorang anak pada dasarnya adalah hasil dari
hubungan seksual yang dilakukan oleh seorang laki-laki dengan seorang perempuan
atau karena bertemunya dua sperma yakni ovum dan
spermatozoa. Sehingga masing-masing sperma
tercampur satu sama lain yang tidak dapat dipisahkan dan saling terkait satu
sama lain, karena perbuatan zina tersebut menjadi sebab yang menjadikan
terciptanya anak. Karena sebab itulah ketetapan mahram anak perempuan
hasil zina dengan ayah biologisnya.
والبعضة علة صالحة لاثبات الحرمة لأن الإنسان كما لايستمتع
بنفسه لايستمتع ببعضه إلا ان النسب لايثبت لالانعدام البعضة بل للإشتباه[44]
Di dalam
kitab al-Mabsuth juga diterangkan bahwa cabang dari permasalahan di atas yaitu
pembahsan tentang seorang laki-laki yang
berzina dengan seorang perempuan sehingga melahirkan seorang anak
perempuan, maka menurut Ulama Hanafiyyah haram bagi laki-laki tersebut untuk
menikahi anaknya dari hasil zina.
ومن فروع هذه المسئلة بنت الرجل من الزنا بأن زنى ببكر
وأمشكها حتى ولدت بنتا حرم عليه تزوجها عندنا[45]
Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, Imam Ala al-Din Abi Bakar bin Mas’ud al-Kasani
al-Hanafi menerangkan di dalam kitabnya Bada’i al Sana’i bahwa anak perempuan dari
hasil zina maka status mahramnya adalah karena anak tersebut secara
biologis merupakan sebutan untuk perempuan yang diciptakan dari air mani
laki-laki yang berzina dengan ibunya. Hanya saja anak perempuan tersebut tidak
boleh disandarkan kepada laki-laki tersebut secara syar’i karena jika
disandarkan kepada laki-laki tersebut maka dapat menimbulkan kesan menyebarkan
perbuatan keji yang dilarang syari’at sebagaimana yang tertera di dalam kitab Bada’i
al Sana’i:
بنت الإنسان اسم لانثى مخلوقة من مائه حقيقة والكلام فيه
فكانت بنته حقيقة إلا انه لاتجوز الإضافة شرعا اليه لما فيه من اشاعة الفاحشة وهذا
لاينفى النسبة الحقيقة[46]
Keterangan di dalam kitab Al Inayah Syarh Al-Hidayah karangan
Muhammamd Ibn Muhammmad al Babarti menjelaskan bahwasanya watho adalah
sebab di ciptakannya
seorang anak maka disandarkan anak
tersebut kepada ibu dan bapaknya. Karena
anak tersebut dijadikan dari air mani ibu dan bapaknya
maka seseorang haram menikah dengan seorang anak yang dijadikan dari air
maninya. Adapun watho yang halal
atau yang haram maka menjadi sebab bagi
haramnya menikah karena dipandang bahwa watho tersebut adalah sebab
dijadikannya seorang anak bukan karena watho tersebut haram (zina).
وَلَنَا أَنَّ الْوَطْءَ سَبَبُ الْجُزْئِيَّةِ بِوَاسِطَةِ
الْوَلَدِ حَتَّى يُضَافَ إلَى كُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا كَمَلًا فَتَصِيرُ
أُصُولُهَا وَفُرُوعُهَا كَأُصُولِهِ وَفُرُوعِهِ وَكَذَلِكَ عَلَى الْعَكْسِ ،
وَالِاسْتِمْتَاعُ بِالْجُزْءِ حَرَامٌ إلَّا فِي مَوْضِعِ الضَّرُورَةِ وَهِيَ
الْمَوْطُوءَةُ ، وَالْوَطْءُ مُحَرَّمٌ مِنْ حَيْثُ إنَّهُ سَبَبُ الْوَلَدِ لَا
مِنْ حَيْثُ إنَّهُ زِنًا[47]
Keterangan dalam kitab Syarh Fath al Qadir karangan
Ibnu al Himam al Hanafi juga menguatkan penjelasan tersebut di atas bahwa
ketentuan secara hakiki/biologis menjadi sebab penetapan status mahram nikah
bagi anak perempuan hasil zina
terhadap bapak biologisnya.
والمخلوقة من مائه بنته حقيقة لغة ولم
يثبت فى اسم البنت والولد شرعا[48]
Dalam kitab tersebut juga disampaikan hukum
haram menikahi anak karena sebab zina berdasarkan atas keadaan hakiki, dan
karena sebab itulah pendapat ini di keluarkan untuk meninggalkan perbedaan
pendapat dengan ulama yang lain.
فعلمنا أن حكم الحرمة مما اعتبر فيه
جهة الحقيقة ثم هو الجارى على المعهود من الاحتياط فى أمرالخروج[49]
Lebih jelasnya dalam kitab tersebut juga
diterangkan bahwasanya jika seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan
maka lahirlah seorang anak perempuan dari hasil hubungan zina tersebut, maka
haramlah baginya mengawini anak tersebut karena anak hasil zina menjadi anaknya
secara hakiki sekalipun tidak saling mewaris dan tidak diwajibkan baginya
menafkahi anak tersebut.
ولو
ولدت منه بنتا
بأن زنى ببكر وأمسكها حتى ولدت بنتا حرمت عليه هذه البنت لانها بنته حقيقة وإن لم
ترثه ولم تجب نفقتها عليه[50]
Selain itu, menurut Ulama Hanafiyyah, hubungan seksual dengan jalan
zina juga menjadi penyebab hubungan mahram mushaharah. Hal ini karena
Ulama Hanafiyyah tidak membedakan bentuk hubungan seksual baik yang halal maupun yang haram,
sehingga hubungan seksual karena zina juga berakibat pada ketetapan hubungan mahram
ashlu dan far’u dari perempuannya begitu pula sebaliknya.
فعلم أن المعتبر فى الأصل هو ذات الوطء من نظر لكونه حلالا أوحرام[51]
Dari uraian literatur-literatur Ulama
Hanfiyyah di atas, penulis dapat menarik kesimpulan bahwa di dalam permasalahan
tentang hubungan mahram anak zina dengan ayah biologisnya, Ulama
Hanafiyyah memberikan penjelasan bahwa anak perempuan yang lahir dari hasil
zina menjadi mahram bagi laki-laki yang bersenggama dengan wanita yang
melahirkannya, meski bagi keduanya tidak terjadi hubungan nasab secara syar’i,
hak saling mewarisi, dan kewajiban memberi nafkah.
5.
Dalil-dalil Ulama Syafi'iyyah
Ulama Syafi’iyyah dalam menetapkan tentang
status mahram anak perempuan hasil zina menggunakan dalil-dalil berupa:
a.
Al-Qur’an
Dalam permasalahan tentang status mahram anak
perempuan hasil zina yang penulis teliti, berdasarkan kitab-kitab Ulama
Syafi’iyyah yang penulis kaji, tidak terdapat ayat yang khusus membahas tentang
status mahram anak perempuan hasil zina dengan ayah biologisnya. Tetapi
terdapat ayat yang membahas tentang status mahram seorang laki-laki
dengan anak atau ibu dari perempuan yang berzinah dengannya tetapi masih
berhubungan dengan pembahasan yang penulis teliti. Adapun ayat tersebut yaitu
surah An-Nisa ayat 22,
وَلاَ تَنْكِحُ مَا نَكَحَ ءَابآؤُكُمْ
مِنَ النِّسَآءِ.
Menurut Ulama Syafi’iyyah makna نكح pada ini ayat
adalah akad yang shahih sehingga menimbulkan
pengertian bahwa apabila seorang laki-laki berhubungan zina dengan
seorang perempuan maka bagi laki-laki tersebut boleh menikahi perempuan yang
berzina dengannya atau anak dan ibu dari perempuan yang berzina dengannya
karena zina tidak menimbulkan keharaman menikah atau keharaman sebab Mushaharah.
فلو عقد الرجل على من زنى بها أبوه
أوابنه كان النكاح صحيحا لأن من شرط صحة
النكاح ألاتكون المرأة محرمة على الرجل والمرأة التى زنى بها الأب أو الإبن غير محرمة
فيصح النكاح.[52]
Dari ayat ini ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa yang menimbulkan keharaman Mushaharah adalah akad bukan zina
sehingga apabila seorang laki-laki berzina dengan seorang perempuan maka boleh
baginya menikahi anaknya yang lahir dari hasil perzinahannya karena zina tidak
menyebabkan keharam menikah.
Pendapat mereka bahwa makna نكح pada ayat ini adalah akad yang sah berdasarkan sebuah
hadist yang diriwayatkan dari Sayyidatina Aisyah R.A:
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ
اللَّهُ عَنْهَا أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لاَ يُفْسَدُ حَلاَلٌ بِحَرَامٍ
وفى رواية :وَلَايُحَرِّمُ الْحَرَامُ الحَلَالَ. (رواه الدار قطنى والبيهقى)
Hadist ini menjelaskan bahwa Nabi SAW
menghabarkan bahwa sesuatu yang haram tidak bisa mengharamkan sesuatu yang
halal, sebagaimana zina adalah perbuatan yang haram maka zina tidak bisa
mengharamkan perempuan yang halal baginya untuk di nikahi meskipun laki-laki
tersebut pernah berzina dengan ibunya atau anaknya.[53]
Dijelaskan lagi dalam kitab Hasyiyah Al
Sarkawi lafadz nakaha sebagai akad secara hakikat dan syar’i dan bermakna
jima’ secara majazi, yakni termasuk menyebut sesuatu yang menyebabkan atas yang
disebabkan karena boleh meniadakan Watha dari nikah sebagai akad.
Dikatakan pengertian nikah sebagai watha
secara majazi adalah karena hal ini termasuk menyebutkan sesuatu yang
disebabkan atas sesuatu yang menyebabkan. Karena
watha adalah sesuatu yang terjadi sebab akad yang
telah berlangsung.
Dengan pendapat yang demikian menetapkan bahwa
seorang perempuan yang menikah secara sah dengan laki-laki (yang sudah
mempunyai anak laki-laki) baik keduanya sudah berhubungan seksual atau belum
maka perempuan tersebut menjadi mahram nikah bagi anak laki-lakinya.[54]
Dr. Wahbah al Zuhaili menjelaskan di dalam
kitabnya salah satu dalil Al-Qur’an yang di jadikan Ulama syafi’iyyah sebagai
dasar hukum mereka adalah surat An-Nisa ayat 24:
وَأُحِلَّ
لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ.
Menurut ulama Syafi’iyyah ayat ini menjelaskan
perempuan yang tidak disebutkan pada dalam ayat sebelumnya maka boleh bagi
laki-laki menikahinya, dan pada ayat sebelumnya tidak disebutkan perempuan yang
berzina dengannya, maka hal tersebut memberikan pemahaman bahwa perempuan yang
pernah berzina dengannya atau ibu dan anak dari perempuan tersebut termasuk
dari perempuan yang boleh dinikahi.[55]
Dari dalil-dalil di atas dapat diketahui bahwa
makna نكح pada ini ayat adalah
akad yang shahih, karena menurut ulama Syafi'iyyah akad yang shahih akan
menimbulkan keharaman bagi seorang laki-laki menikahi perempuan yang pernah
menikah dengan akad yang shahih bersama ayahnya atau anaknya. Sehingga
mengakibatkan tidak terjadi hubungan mahram antara anak zina dengan ayah
biologisnya.
b.
Hadist
Adapun dalil hadist yang digunakan Ulama
Syafi’iyyah sebagai dasar hukum menetapkan hubungan mahram anak zina dengan
ayah biologisnya sebagai berikut:
قال النبي صلى الله عليه وسلم : الوَلَدُ
لِلْفِرَاشِ وَلِلْعَاهِرِ الحَجَرُ.
(رواه البخاري والمسلم)[56]
Di dalam hadist ini Nabi SAW menjelaskan bahwa
seorang anak dinasabkan kepada laki-laki yang memiliki budak atau menikahi
perempuan. Adapun bagi laki-laki yang berzina maka ia tidak berhak atas anak
tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa nasab hanya berlaku atau dibatasi bagi anak
yang lahir dari pernikahan yang sah. Dan jika anak hasil zina di masukkan dalam
golongan anak yang lahir dari sebab pernikahan yang sah, maka akan menyebabkan
hilangnya pemabatasan yang disebutkan Nabi dan itu tidak mungkin karena Nabi
telah menyebutkannya di dalam hadist tersebut. [57]
Hadist yang kedua yang dijadikan ulama
Syafi’iyyah dalil adalah
عَنْ عُرْوَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِىَ
اللَّهُ عَنْهَا أن النبي صلى الله عليه وسلم سُئِلَ عَنْ رَجُلٍ زَنَى بِإِمْرِأَةٍ,فَأَرَادَ
أَنْ يَتَزَوَّجَهَا أَوْ يَتَزَوَّجُ اِبْنَتَهَا فقال : لَايُحَرِّمُ الحَرَامُ
الحَلَالَ إنما يُحَرِّمُ مَا كَانَ بِنِكَاحٍ. (رواه البيهقى)[58]
Menurut Ulama Syafi’iyyah hadist ini
menunjukkan bahwa zina tidak menyebabkan keharaman karena sebab Mushaharah (hubungan
suami istri) maka boleh bagi laki-laki menikahi anak perempuan hasil
perzinahannya. Dan ulama Syafi’iyyah menambahkan lagi Mushaharah adalah nikmat karena dengan mushaharah seseorang
akan terhubung dengan keluarga, adapun zina adalah sesuatu yang dibenci maka
tidak bisa menjadi sebab untuk mendapat nikmat (hubungan keluarga). Dari
hadist-hadist di atas dapat disimpulkan bahwa ulama Syafi’iyyah berpendapat
bahwa anak perempuan yang lahir karena sebab zina tidak mempunyai hubungan mahram
dengan ayah biologisnya.
6.
Dalil-dalil Ulama Hanafiyyah
Setelah penulis menerangkan dalil-dalil ulama
Syafi’iyyah penulis melanjutkan menjabarkan dalil Ulama Hanfiyyah, adapun dalil
yang di gunakan Ulama Hanafiyyah dalam menetapkan hubungan mahram anak
zina dengan ayah biologisnya adalah Al-Qur’an, dan Sunnah.
a.
Al-Qur’an
Adapul dalil Al-Qur’an yang dijadikan landasan
hukum pendapat mereka sebagai berikut:
Sebagaimana Ulama Syafi’iyyah Ulama Hanafiyyah
juga menjadikan Surat An-Nisa ayat 22:
وَلاَ تَنْكِحُ مَا نَكَحَ
ءَابآؤُكُمْ مِنَ النِّسَآءِ.
sebagai dalil tetapi berbeda dengan
Syafi’iyyah, Hanafiyyah berpendapat bahwa pengertian نكح pada ayat tersebut pada hakikatnya adalah Watha (hubungan
suami istri) bukan akad seperti yang di kemukakan Ulama Syafi’iyyah. Dan menggunakan
sebuah kalimat kepada makna hakikat lebih utama dari menggunakannya kepada majaz
kecuali ada dalil yang menyatakan kelimat tersebut digunakan kepada makna majaz.
Ulama Hanafiyyah berpendapat demikian karena watha
lebih mewajibkan bagi keharaman menikah dari akad, hal ini disebabkan tidak ada
watha yang dibolehkan kecuali membuat haram menikah seperti: watha dengan
sebab perbudakan dan nikah syubhat.
Adapun akad maka terkadang tidak menjadikan
haram menikah seperti, menikahi seorang perempuan yang mempunyai anak maka
tidak diharamkan anak perempuan tersebut kecuali telah watha dengan
ibunya, maka dari permasalahan ini dapat kita ketahui bahwa adanya whata menyebabkan
keharaman menikah.
أن يكون المراد
بالنكاح في الآية الوطء ، قالوا : لأنه فيه حقيقة ، وفي العقد مجاز ، والحمل على
الحقيقة أولى ، حتى يقوم الدليل على الحمل على المجاز ، وإذا كان المراد به الوطء
فلا فرق بين الوطء الحلال والوطء الحرام.
قالوا : ويدلّ عليه من جهة النظر أنّ الوطء آكد في إيجاب التحريم من العقد ،
لأنّا لم نجد وطأ مباحا إلا وهو موجب للتحريم ، كالوطء بملك اليمين ، ونكاح الشبهة
، وقد وجدنا عقدا صحيحا لا يوجب التحريم ، وهو العقد على الأم لا يوجب تحريم البنت
، ولو وطئها حرمت ، فعلمنا أنّ وجود الوطء ، لأنّ التحريم لم يخرجه من أن يكون وطأ
صحيحا.[59]
Selain ayat di atas Hanafiyyah juga menjadikan
Surat An-Nisa ayat 23 sebagai dalil:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ .
Menurut ulama Hanafiyyah di dalam ayat ini
menjelaskan keumuman keharaman setiap anak perempuan yang lahir dari sebab air
mani laki-laki yang menghamili ibunya, tidak ada perbedaan apakah air mani
tersebut keluar karena sebab zina atau sebab pernikahan yang sah.
أنها نصت على
تحريم كل بنت مضافة إلى المخاطبين, مما لا شك فيه أن بنت الزانى بنته, لأنها أنثى
مخلوقة من مائه, وهذه حقيقة لا تختلف بالحل والحرمة.[60]
Pendapat mereka yang demikian berdasarkan sebuah hadist Nabi SAW:
روى عن انس رضي
الله عنه قال النبي صلى الله عليه وسلم فى شَأْنِ اِمْرَأَةِ هِلَالِ ابْنِ أُمَيَّةَ:
اُنْظُرْهُ – يَعْنِى وَلَدَهَا – فَإِنْ جَآءَتْ بِهِ صِفَةُ كَذَ فَهُوِ لِشَرِيْكِ
بْنِ سَحْمَاء. يعنى : الزَانِى. (رواه المسلم)[61]
Di dalam Hadist ini dijelaskan tentang hilal
ibn Umayyah yang mengadukan kepada Nabi SAW tentang seorang anak, Nabi
Menjelaskan apabila ada pada anak tersebut tanda-tanda yang menyerupai penzina
maka anak tersebut bagi laki-laki yang berzina dengan istri Hilal ibn Umayyah.[62]
b.
Hadist
Dalil berikutnya yang di jadikan Ulama
Hanafiyyah sebagai dasar hukum mahram anak zina dengan ayahnya adalah hadist:
ما روى أن
النبي صلى الله عليه وسلم قال : لاَيَنْظُرُ اللهَ إِلَى رَجُلٍ نَظَرَ إِلَى فَرْجِ
اِمْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا. (رواه البيهقى)[63]
Menurut Hanafiyyah di dalam hadist ini Nabi
menunjukkan bahwa Allah SWT tidak akan memandang kepada seorang laki-laki yang
memandang kemaluan perempuan, apakah pandangan tersebut dibolehkan atau diharamkan.
Dan lanjutan hadist di atas:
وَرَوَى لَيْثُ
بْنُ أَبِى سُلَيْمٍ عَنْ حَمَّادٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ عَنْ عَلْقَمَةَ عَنْ عَبْدِ
اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قال : مَلْعُوْنٌ مَنْ نَظَرَ إِلَى فَرْجِ اِمْرَأَةٍ وَبِنْتِهَا.
(رواه البيهقى)[64]
Adapun hadist ini menunjukkan bahwa jika
seorang laki-laki memendang kemaluan perempuan maka ia akan dijauhkan dari
rahmat Allah atau dilaknat Allah SWT, hal tersebut menunjukkan bahwa memandang
kemaluan perempuan adalah membuat perempuan tersebut haram untuk dinikahi,
apabila memandang kemaluan membuat keharaman menikah maka Watha lebih
diharamkan untuk menikah dari memandang.
ووجه الدلالة
من الحديث: أنه لو لم يكن النظر إلى فرج الأم محرما للنظر إلى فرج ابنتها لما
استحق عليه اللعن الذى هو الطرد والإبعاد من الرحمة الله, وإذا ثبتت الحرمة بالنظر
فثبوتها بالوطء أولى.
Ulama Hanafiyyah menambahkan bahwa anak
perempuan hasil zina dijadikan dari air mani ayah biologisnya, maka anak
tersebut satu bagian dari ayahnya, karena yang demikian maka haram menikah di
antara keduanya seperti haram menikahi anak perempuan yang lahir dari
pernikahan yang sah.[65]
B.
ANALISIS PENDAPAT ULAMA SYAFI’IYYAH DAN ULAMA HANAFIYYAH
TENTANG STATUS MAHRAM ANAK DI LUAR NIKAH DENGAN AYAH BIOLOGISNYA
Pergaulan bebas antara muda-mudi yang banyak
terjadi sekarang ini, seringkali membawa kepada hal-hal yang negatif yang tidak
dikehendaki, seperti hubungan seks luar nikah dan hamil luar nikah. Hal ini disebabkan oleh adanya pergesekan budaya, sehingga pada saat ini gejala dimasyarakat
adanya hidup bersama antara seorang pria dan wanita tanpa adanya
hubungan
perkawinan.
Anak yang lahir di luar pernikahan mendapatkan
julukan dalam masyarakat sebagai anak haram, hal ini menimbulkan gangguan
psikologis bagi anak, walaupun secara hukum anak tersebut tidak mempunyai
akibat hukum akibat perbuatan orang tuanya, namun banyak persoalan yang muncul
akibat hamil di luar nikah tersebut, seperti hubungan nasab antara anak dengan
ayah biologisnya, dan lainnya dari berbagai perspektif hukum.
Di dalam hadist Nabi Muhammad Saw bersabda:
روى عن سَعْدَ بْنَ أَبِى وَقَّاصٍ
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ ادَّعَى أَبًا فِى الإِسْلَامِ غَيْرَ أَبِيهِ
يَعْلمُ أنهُ غيُر أَبيهِ فَالْجَنَّةُ عليه حَرَامٌ (رواه البخارى ومسلم)[66]
Dalam hadist di atas dijelaskan bahwa,
seseorang tidak boleh menasabkan dirinya kepada selain ayah kandungnya, apabila
ia mengetahui siapa ayahnya. Hal ini dipahami dari lafazd فالجنة عليه
حرام. Orang yang tidak boleh masuk surga
adalah orang yang berdosa. Jadi jika seseorang menasabkan dirinya kepada selain
ayah kandungnya, sedangkan ia mengetahui bahwa itu bukan ayah kandungnya maka
ia termasuk orang yang berdosa.
Membahas mengenai status mahram anak
perempuan hasil zina dengan ayah biologisnya maka penulis mendapati perbedaan
pendapat diantara Ulama Syafi’iyyah dan Ulama Hanafiyyah.
Adapun Ulama syafi’iyyah maka pendapat mereka
sama seperti pendapat Imam Malik keduanya berpendapat bahwa watha karena
zina tidak menyebabkan keharaman seperti halnya watha karena sebab
pernikahan yang sah dengan demikian anak perempuan dari hasil zina tidak
mempunyai hubungan mahram dengan ayah biologisnya, oleh karena itu ayah
biologisnya boleh menikahi anaknya dari hasil perzinahan. Sedangkan Ulama
Hanafiyyah dan Hanabilah berpendapat bahwa watha baik dari akad
pernikahan atau zina keduanya menyebabkan keharaman menikah, maka anak
yang lahir karena sebab zina mempunyai hubungan mahram dengan ayah biologisnya.[67]
Dari sini dapat kita ketahui bahwa pendapat
Ulama Syafi’iyyah sangat bertolak belakang dengan pendapat yang dikemukakan
oleh ulama Hanafiyyah. Untuk lebih mendalam lagi pembahasan tentang
perbandingan dua pendapat ini maka akan penulis paparkan argumen masing-masing
serta bantahan-bantahan antara dua pendapat ini dan satu sama lain.
Adapun perbedaan pendapat antara ulama
Safi’iyyah dan ulama Hanafiyyah ini terjadi karena perbedaan pendapat mereka
tentang makna نكح pada surat An Nisa ayat
22 sehingga menimbulkan perdebatan apakah anak zina menjadi mahram bagi
ayah biologisnya, di dalam kitab Asbabu Al Ikhtilafi AL Fukaha Ulama
Hanafiyyah, Al Awza’i, Supyan Tsauri dan Abu Qasim dari Riwayat Imam Malik
memaknai نكح menurut bahasa (watha)
sehingga terjadilah hubungan Mahram mushaharah karena sebab
zina. Sedangkan Ulama Syafi’iyyah dan pendapat Imam Malik di dalam Muat’tha memaknai
نكح menurut Istilah (akad
pernikahan) sehingga menimbulkan pengertian bahwa zina tidak menyebabkan
hubungan mahram.[68]
Di dalam kitab Rawa’iu Al Bayan Fi Tafsiri
Ayat Al Ahkam karya Muhammad ali Al Shobuni menerangkan bahwa pendapat
Ulama Syafi’iyyah berdasarkan hadis yang diriwayatkan Ikrimah dari Ibn Abbas
tentang seorang laki-laki yang berzina dengan mertuanya setelah ia zima’ dengan
istrinya, Berkata Abdullah Ibn Abbas: Laki-laki tersebut melanggar dua
keharaman (Berzina dan Berzina dengan mertua) dan tidak diharamkan atasnya
istrinya. Dan diriwayatkan kembali dari Ibn Abbas Berkata: sesuatu yang haram
(zina) tidak bisa menjadikan sesuatu yang halal (akad Nikah) menjadi haram.
Sedangkan Ulama Hanafiyyah menggunakan dalil
akli, makna ayat tersebut pada hakikat adalah wataha, dan memaknai suatu
kalimat dengan makna hakikat lebih utama dari memaknai dengan majaz, dari sana
dapat diambil pengertian bahwa tidak ada perbedaan antara watha haram
dan halal. Menurut Ali Al Shabuni dalil yang di gunakan Syafi’iyyah lebih kuat
dari dalil yang di gunakan Ulama Hanfiyyah.[69]
Ahmad Ibn Ali al Makki al Jasshos di dalam
kitab Ahkamu Al Qur’an Liljasshos mengenai makna نكح, makna yang sebenarnya pada hakikatnya adalah watha
sedangkan pada majaz adalah akad karena jika nikah dimaknai watha
maka akan terkandung makna akad dan watha. Adapun apabila dimaknai
dengan akad maka tidak akan terkandung makna watha karena akad adalah sesuatu
yang menyampaikan kepada watha, dari sini dapat diketahui bahwa نكح bermakna whata karena dengan memaknai seperti itu akan
terkumpul di dalamnya makna akad dan watha.[70]
Mengenai hadis yang diriwayatkan Ikrimah dari
Ibn Abbas Al Awza’i dari Atha menjelaskan jika hadist tersebut benar seperti
itu adanya maka tidak perlu di ta’wilkan dengan Riwayat yang lain,
menurut Al awza’i dari ta’wil tersebut maka diragukan hadis
tersebut berasal dari Nabi SAW.[71]
Muhammad Ali Sayas, Tafsir Ayat al Ahkam menerangkan
bahwasanya pendapat yang Rajih adalah pendapat Ulama Syafi’iyyah karena
Allah SWT menjadikan hubungan mahram terjadi karena sesuatu yang halal
(akad Nikah) bukan berasal dari yang haram (zina) karena Allah SWT memuliakan
dengan yang halal, oleh sebab itu tetaplah hubungan mahram dengan sebab
akad tidak dengan sebab zina, karena zina hanya menimbulkan siksaan dan hukuman
maka tidak terjadi hubungan mahram karena zina.[72]
Ibn Al Arabi di dalam kitabnya Ahkam
Al-Qur’an menjelaskan bahwa pada ayat ini sangat jelas menerangkan bahwa نكح bermakna akad dan watha, dari pendapat ini
dapat dipahami bahwa tidak ada perbedaan antara wtaha halal atau haram, maka
terjadilah hubungan mahram antara laki-laki yang berzina dengan anaknya
dari hubungan zina.[73]
Selain ayat di atas ulama Syafi’iyyah dan
Ulama Hanafiyyah juga menjadikan ayat yang lain sebagai dalil. Adapun ulama
Syafi’iyyah dalil mereka selanjutnya adalah surat An-Nisa ayat 24:
وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَآءَ ذَلِكُمْ
Ayat diatas menjelaskan bahwa wanita yang
tidak disebutkan di dalam surat an-Nisa ayat 23 maka wanita tersebut halal
untuk dinikahi, di dalam ayat tersebut tidak disebutkan anak perempuan hasil
zina maka dapat disimpulkan anak tersebut boleh dinikahi.
Sedangkan ayat yang lain yang menjadi dalil
bagi Ulama Hanafiyyah adalah surat an-Nisa ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ.
Menurut Ulama Hanafiyya keharaman pada ayat
ini umum untuk semua anak perempuan baik yang lahir dari pernikahan yang sah
atau anak perempuan yang lahir karena zina yang dijadikan dari sperma ayahnya.
Dari pemahaman ayat ini dapat penulis simpulkan bahwa Hanafiyyah menggunakan
keumuman ayat ini sebagai dalil bahwa anak hasil zina mempunyai hubungan mahram
dengan ayah biologisnya.
Setelah penulis selesai membahas tentang perdebabatan
antara Ulama Syafi’iyyah dan Ulama Hanafiyyah mengenai makna نكح pada surat An Nisa Ayat 22, penulis selanjutnya akan
menganalisis mengenai pendapat Ulama Syafi’iyyah dan Ulama Hanafiyyah mengenai
Hubungan mahram antara anak perempuan hasil zina dengan ayah
biologisnya.
Di dalam kitab Hasiah Al Bajuri karya
Sekh Ibrahim Al Bajuri anak perempuan yang lahir karena sebab zina boleh bagi
ayah biologisnya untuk menikahainya, ini disebabkan karena tidak ada kehormatan
bagi sperma yang keluar karena sebab zina ini bisa dilihat dari hilangnya semua
hubungan hukum antara anak hasil zina dengan ayah biologisnya. Sedangkan
perempuan yang melahirkan anak zina maka tetap baginya semua hubungan hukum
baik itu mahram, waris dan lain-lain. Adapun perbedaan hukum yang
terjadi antara perempuan dan laki-laki disebabkan karena sperma yang keluar dan
menjadi anak perempuan dari laki-laki adalah sesuatu yang kotor. Sedangkan anak
yang dilahirkan perempuan adalah manusia yang sempurna sehingga anak tersebut
tetap mempunyai hubungan hukum dengan ibunya.[74] Pendapat
ini sama dengan pendapat Ulama-ulama Syafi’iyyah yang lainnya.
Menurut Ulama Hanafiyyah pendapat demikian adalah
salah, mereka menyamakan anak perempuan hasil zina dengan anak perempuan dari
pernikahan yang sah karena keduanya dijadikan dari air mani laki-laki yang watha
dengan ibunya. Dan juga mereka menambahkan meskipun anak tersebut tidak
mendapatkan waris, nafkah dan lain-lain maka itu tidak bisa dijadikan alasan
untuk menetapkan bahwa dengan sebab tersebut hubungan mahram antara anak
hasil zina dengan ayah biologisnya tidak terjadi, seperti anak yang kafir maka
tidak terjadi antara anak keduanya hubungan waris, tetapi anak tersebut tetap
di nasabkan kepada ayahnya, maka dengan mengqiaskan kepada masalah tersebut
dapat diketahui anak hasil zina meskipun tidak mendapat waris dari ayah
biologisnya tetapi hubungan mahram antar keduanya tetap terjadi.[75]
Setelah menjelaskan pendapat Ulama Syafi’iyyah
dan bantahan ulama Hanafiyyah penulis melanjutkan membahas pendapat Ulama
Hanafiyyah dan bantahan Ulama Syafi’iyyah, Muhammad ibn Muhammad Al Babarti
menerangkan dalam kitab Al Inayah Sarh Al Hidayah bahwa watha adalah
sebab dijadikannya seorang anak maka terjadilah hubungan mahram antara
anak hasil zina dengan ayah biologisnya, karena dalam hal ini yang dijadikan
landasan pengambilan hukum adalah dilihat dari watha tersebut sebab
dijadikannya seorang anak, bukan dipandang dari watah tersebut berasal
dari yang Haram atau yang halal.[76]
Menurut Ulama Syafi’iyyah watha zina
tidak bisa menjadikan hubungan mushaharah karena hubungan mushaharah adalan
nikmat, maka nikmat tersebut tidak akan tercapai melalui yang haram (zina)
karena tidak ada persamaan antara sesuatu yang halal dengan yang haram. [77]
Dan jika kita jadikan zina sebagai sebab
terjadinya hubungan mushaharah, maka hubungan mahram juga akan
terjadi dengan perempuan yang berzina dengannya.[78]
Dari dalil-dalil dan pendapat-pendapat di atas
dapat penulis ketahui bahwa istimbath hukum yang digunakan Ulama Syafi’iyyah
untuk menetapkan permasalahan ini yaitu:
1) Al-Qur’an, seperti yang kita ketahui bahwa sumber hukum utama Syafi’iyyah
adalah al-Qur’an, dengan memandang kepada makna hakikat pada surat an-Nisa ayat
22 dan memandang kepada kezahiran ayat 23 dan 24 ulama Syafi’iyyah
berpendapat bahwa anak hasil zina tidak mempunyai hubungan mahram dengan
ayah biologisnya.
2) Hadist, adapun hadist maka menjadi sumber hukum yang kedua bagi Ulama
Syafi’iyyah, dalam permasalahan ini ulama Syafi’iyyah menjadikan hadist sebagai
bahan untuk menafsirkan al-Qur,an dan juga sebagai sumber hukum untuk membatasi
mahram bagi seorang anak dan juga dengan melihat dalalah hadist, mulai
dari ibarat al Hadis yaitu memandang kalimat hadist secara zhahir,
isyarat al hadis memaham kalimat hadis dengan pemahaman yang sesuai
dengan tujuan hadis sehingga Ulama Syafi’iyyah menetapkan tidak terjadi
hubungan mahram antara keduanya.
3) Qiyas, Syafi’iyyah menetapkan tidak terjadi hubungan mahram antara
keduanya. Ketiga Qiyas, Ulama Syafi’iyyah mengqiyaskan watha zina
tidak bisa menghalalkan yang haram kepada wanita yang telah ditalak tiga tidak
bisa menikah kembali dengan suminya dengan ia melakukan zina.
Sedangkan Ulama Hanafiyyah dalam permasalahan
ini istimbath hukum mereka adalah:
1) Al-Qur’an, sama seperti ulama Syafi’iyyah istimbath hukum yang utama
dari ulama Hanafiyya adaalahAl-Qur’an, Ulama Hanafiyyah memandang kepada makna
hakikat ayat 22, dan juga memandang kepada keumuman ayat 23 maka mereka
berpendapat bahwa anak hasil zina mempunyai hubungan mahram dengan ayah
biologisnya.
2) Hadist, menjadi istimbath/sumber hukum ulama Hanafiyyah yang kedua
dalam permasalahan ini ulama Hanafiyyah menggunakan hadist sebagai tafsir bagi
ayat yang mereka jadikan dasar hukum, selain menjadi tafsir bagi ayat
yang mereka jadikan sumber hukum hadist pada Hanafiyya juga dijadikan dalil
untuk menetapkan hukum, yaitu dengan mamahami hadist dengan menggunakan Qiyas.
Setelah penulis selesai membahas pendapat,
dalil dan istimbath hukum yang digunakan Ulama Syafi’iyyah dan Ulama
Hanafiyyah. Penulis lebih cendrung kepada pendapat Hanafiyyah yang menyatakan
bahwa anak hasil zina mempunyai hubungan mahram dengan ayah biologisnya
dan menurut penulis pendapat Hanafiyyah yang lebih kuat dan lebih sesuai untuk
diikuti. Karena dengan status haram tersebut dapat berpengaruh terhadap
psikologi kedewasaan anak tersebut sehingga menurut penulis hal ini lebih
berdampak positif mengingat pentingnya menjaga keturunan sebagaimana yang
disyari’atkan oleh agama islam.
Adapun
pendapat penulis yang menyatakan pendapat Hanafiyyah lebih kuat dan lebih
sesuai untuk diikuti berdasarkan pendapat-pendapat imam-imam yang akan penulis
uraikan.
Ulama yang pertama adalah Ibn Qudamah didalam
kitabnya Al Mugni menurut beliau anak hasil zina haram bagi ayah
biologisnya untuk menikahinya, pendapat demikian dengan melihat keumuman surat
An-Nisa ayat 23:
حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَتُكُمْ
وَبَنَاتُكُمْ.
Banat pada ayat ini pengertiannya umum bagi setiap
anak perempuan yang dijadikan dari sperma laki-laki yang menzima’/mewatha ibunya
jadi pada hakikatnya anak perempuan tersebut anaknya karena dijadikan dari
sperma miliknya dengan tanpa memandang halal dan haram hubungan tersebut.
Selain itu Ibn Qudamah juga mengqiaskan permasalahan ini dengan watha
syubhat menurutnya tidak ada perbedaan diantara dua masalah tersebut karena
keduanya sama dijadikan dari sperma laki-laki yang mewatha ibunya.[79]
Pendapat penulis juga berdsarkan pendapat pada
kitab Al Mausu’ah Al Fikhiyyah karya Kementrian Agama Kuait seperti
halnya Ibn Qudamah dalam kitab ini juga memandang kepada keumuman dan kasharihan
surat An-Nisa ayat 23, karena anak perempuan yang dijadikan dari sperma
miliknya adalah anaknya pada hakikat dan pada lugat, maka tidak pantas seorang
laki-laki menikahi perempuan yang dijadikan darinya, karena perempuan tersebut
adalah satu bagian dari dirinya.[80]
Selain dua pendapat diatas pendapat penulis
juga sesuai dengan pendapat Ibn Taymiyah ketika ditanya mengenai anak perempuan
hasil zina apakah boleh menikah dengan bapaknya, beliau menjawab bahwa jumhur
Ulama berpendapat tidak boleh laki-laki tersebut menikahinya. Ibn Taymiyah
mengutarakan alasan yang sama dengan dua pendapat di atas bahwa firman Allah
SWT pada surat an Nisa ayat 23 sebagaimana di atas mencakup setiap orang yang
terkandung di dalam ayat tersebut baik secara hakiki maupun majazi,
tanpa memandang apakah terdapat hak waris maupun hak-hak yang lain atau tidak,
karena yang menjadi pertimbangan adalah status mahram.[81]
Selain tiga pendapat diatas penulis juga
menjadikan pertimbangan Tarjih Imam An Nawawi di dalam kitab Takmilat
Al Majmu’ Sarh Al Muhajjab menurut beliau pendapat yang rajih diantara
pendapat Ulama Syafi’iyyah dan Ulama Hanafiyyah tentang mahram anak
perempuan hasil zina dengan ayahnya adalah pendapat Ulama Hanafiyyah.
Adapun Imam Nawawi berpendapat demikian karena
beliau membandingkan antara hukum mahram anak susuan dengan anak mahram
anak zina. Beliau menerangkan bahwa Syari’at islam mengharamkan anak susuan
agar seseorang tidak melakukan hubungan badan dengan dirinya sendiri, dan
bernikmat-nikmat dengan perempuan yang berasal dari bagian dirinya (air susu).
Keharaman yang ada pada anak perempuan susuan juga terdapat pada anak perempuan
hasil zina bahkan keharaman tersebut lebih utama untuk diberlakukan kepada anak
hasil zina, ini karena pada anak zina terdapat bagian (juzu’) dari
laki-laki yang berzina dengan ibunya secara pasti (qath’i) sedangkan
pada anak susuan bagian tersebut masih diragukan karena air susu tersebut yang
menjadi illat keharaman tidak bisa dipastikan menjadi bagian dari anak
yang disusui.
Dari pembahasan diatas Imam Nawawi
menyimpulkan dengan menggunakan qiyas awlawi apabila mahram diberlakukan
pada sesuatu yang masih diragukan (anak susuan), maka untuk memberlakukan mahram
pada sesuatu pasti (anak zina) lebih utama.[82]
Lebih lanjut Imam Nawawi mengutip pendapat Ibn
Qayyim: menurut Ibn Qayyim sungguh buruk pendapat yang membolehkan menikahi
anak perempuan dari hasil zina sedangkan anak tersebut dijadikan dari
spermanya, dan melarang menikahi anak perempuan yang meminum air susu dari
sebab ia mewatha istrinya yang terdapat dalam air susu istrinya tersebut
satu bagian (juzu’) yang sedikit darinya, dan membolehkan menikahi anak
perempuan hasil zina yang seluruhnya berasal darinya. Menurut Ibn Qayyim dalam
permasalan ini wajib kita memberlakukan keharaman bagi anak perempuan hasil
zina.[83]
Selain pendapat Ulama-ulama diatas pendapat
penulis juga berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 46/PUU-VIII/2010 yang Amar Putusannya berbunyi:
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3019) yang menyatakan, “Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya”,
tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang dimaknai menghilangkan
hubungan perdata dengan laki-laki yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum ternyata
mempunyai hubungan darah sebagai ayahnya, sehingga ayat tersebut harus
dibaca, “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi
dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk
hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”.[84]
Dalam putusannya MK menyatakan anak yang lahir
di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya
serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu
pengetahuan, putusan ini sesuai dengan pendapat Ulama Hanafiyyah yang
menghukumkan terjadinya hubungan mahram antara anak hasil zina dengan
ayah biologisnya.
Adapun pertimbangan hukum MK adalah bahwa
pokok permasalahan hukum mengenai anak yang dilahirkan di luar perkawinan
adalah mengenai makna hukum (legal meaning) frasa “yang dilahirkan di
luar perkawinan”. Untuk memperoleh jawaban dalam perspektif yang lebih luas
perlu dijawab pula permasalahan terkait, yaitu permasalahan tentang sahnya anak
dan pertimbangan hukum Mahkamah konstitusi memutuskan demikian adalah:
Secara alamiah, tidaklah mungkin seorang perempuan hamil
tanpa terjadinya pertemuan antara ovum dan spermatozoa baik melalui hubungan
seksual (coitus) maupun melalui cara lain berdasarkan perkembangan
teknologi yang menyebabkan terjadinya pembuahan. Oleh karena itu, tidak tepat
dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu
kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan
dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil
pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual yang menyebabkan
terjadinya kehamilan dan kelahiran anak tersebut dari tanggung jawabnya sebagai
seorang bapak dan bersamaan dengan itu hukum meniadakan hak-hak anak terhadap
lelaki tersebut sebagai bapaknya. Lebih-lebih manakala berdasarkan perkembangan
teknologi yang ada memungkinkan dapat dibuktikan bahwa seorang anak itu
merupakan anak dari laki-laki tertentu.
Akibat hukum dari peristiwa hukum kelahiran
karena kehamilan, yang didahului dengan hubungan seksual antara seorang
perempuan dengan seorang laki-laki, adalah hubungan hukum yang di dalamnya
terdapat hak dan kewajiban secara bertimbal balik, yang subjek hukumnya meliputi
anak, ibu, dan bapak.
Berdasarkan uraian di atas, hubungan anak
dengan seorang laki-laki sebagai bapak tidak semata-mata karena adanya ikatan
perkawinan, akan tetapi dapat juga didasarkan pada pembuktian adanya hubungan
darah antara anak dengan laki-laki tersebut sebagai bapak.
Dengan demikian, terlepas dari soal prosedur/administrasi
perkawinannya, anak yang dilahirkan harus mendapatkan perlindungan
hukum. Jika tidak demikian, maka yang dirugikan adalah anak yang dilahirkan
di luar perkawinan, padahal anak tersebut tidak berdosa karena kelahirannya
di luar kehendaknya. Anak yang dilahirkan tanpa memiliki kejelasan status
ayah seringkali mendapatkan perlakuan yang tidak adil dan stigma di tengah-tengah
masyarakat. Hukum harus memberi perlindungan dan kepastian hukum
yang adil terhadap status seorang anak yang dilahirkan dan hak-hak yang ada
padanya, termasuk terhadap anak yang dilahirkan meskipun keabsahan perkawinannya
masih dipersengketakan.[85]
Dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri
mengenai mahram nikah sebenarnya telah diatur, hanya saja tidak terdapat
keterangan status mahram anak perempuan hasil zina. Dalam KHI hanya
disebutkan larangan kawin karena pertalian nasab, semenda dan susuan dimana
tidak ditemukan keterangan mengenai larangan kawin sebab zina. Maka apabila
dilihat ketentuan tersebut masih umum bila dibandingkan dengan pendapat Ulama
Syafi’iyyah dan ulama Hanafiyyah.
Setelah melihat pendapat-pendapat di atas maka
penulis berkesimpulan dalil yang digunakan Ulama Syafi’iyyah lebih kuat tetapi
dalil-dalil yang mereka gunakan adalah dalil umum tidak spesifik membahas
tentang mahram anak hasil zina dengan ayahnya tetapi merangkum semua mahram.
Adapun pendapat yang lebih kuat adalah pendapat Ulama Hanafiyyah seperti yang
dikemukakan Imam Nawawi bahwa tidak pantas mengharamkan anak sesusuan dan
menghalalkan anak hasil zina sedangkan anak hasil zina merupakan bagian yang
pasti berasal ayah biologisnya, sedangkan anak susuan hanya bagian yang sedikit
dan masih diragukan berasal dari suami yang mewatha istrinya.
[1] Dedi
Sufriyadi, M.Ag, Fiqh Munakahat Perbandingan, Pustaka
Setia,Bandung.2009. hal.21
[2] Dr. Siah
Khosiah, Fiqh Muamalah Perbandingan, Pustaka setia, Bandung.2014.
hal.29-30
[3] Ibid .hal
30.
[4] Abdul Wahab
Khallaf, Sejarah Legislasi islam (Perkembangan Hukum Islam), alih bahasa
A. Sjinqithy, (Surabaya: al-Ikhsan)1994. Hal.116.
[5] Muhammad Ali
As-Sayis, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, terj. Dedi
Junaidi, (Jakarta: Akademika Pressindo), 1996. Hal.157.
[6] Muhammad
Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada), 1996, hal. 113.
[7] Dr. Siah
Khosiah, Op.cit, hal. 30-31
[8] Ibid. hal.31-33
[9] Dedi
Sufriyadi, M.Ag, Op.cit. hal.23.
[10] Ibid.hal.
23-24.
[11] Ibid. hal.
25.
[12] Abu Abdillah
Muhammad bin Idris As-Syafi’i, Al-Umm, juz V Bairut Libanon, Dar
Al-Fikr, 1980.hal.32. Hadist juga dapat di lihat pada kitab Abi Abdillah
Muhammad bin Ismail Al-Bukhori, juz 3 Shahih Bukhori, Bairut Lebanon,
Dar Al-Fikr,2006. Hal.70.
[13] Ibid.
juz VII. Hal. 164
[14] Ibid, juz
V, hal.164.
[15] Ibid, hal.
164-165.
[16]
Al Nawawi Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf, minhaz Al-Thalibin,( Surabaya: Al-Hidayah),
tt.hal.242.
[17] Al-Khatib
Al-Syarbini Syamsuddin Muhammad bin
Muhammad, Mugni Al-Muhtaz,juz III (Beirut
Lebanon: Dar Al-Kotob Al-Ilmiyah), 2009. Hal. 214.
[18] Al Nawawi Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf, Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, Juz XVII,(Beirut Lebanon, Dar Al-Kutub Ilmiyah),2002. Hal.353
[19] Ibid, hal.353-354
[20] Ibid, hal.
357
[21] Ibid, hal.361
[22] Syekh Al Islam Zakaria Al Anshori, Asnal Mathalib Fi Syarhi Al-Raudha Al-Thalib. Juz 3, Dar Al Kutub Ilmiyah, Bairut Lebanon.
2000. Hal. 148.
[24] Al-Mawardi Abi Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habib, Al-Hawi Kabir,Juz
VIIII.Beirut Lebanon: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah.1994, hal. 218
[25] Ibnu al Wardi,
Syarh al Bahjah al Waridiyyah, juz XIV, Maktabah Syamilah, hal, 334.
[26] Dedi
Sufriyadi, M.Ag, Op.cit. hal. 11
[27] Dr. Shabah Qasim al Imami, Min Sirati al Imam Abu Hanifah,Juz 3, al
Markaz al tsaqafi al Islami Denmark, t.t. hal. 1 Maktabah Syamilah
[28] Dr. Siah
Khosiah, Op.cit, hal 20. Juga bisa di lihat .Abdullah Musthafa
Al-Maraghi, Pakar-pakar Fiqih Sepanjang Sejarah, Terjemah oleh Husein
Muhammad, dari buku Fathul Mubin Fi sebagai Al-Ushuliyyin, LPKSM,
Yogyakarta, 2001, hal.76.
[29] Dr. Siah
Khosiah, Op.cit, hal 20-22
[30] Dedi
Sufriyadi, M.Ag, Op.cit. hal 13. Juga bisa dilihat di, Abu Zahrah, Ushul
Fiqh,Mesir, Darul Fikr,1950.hal.12.
[31] Ibid,hal
13-14
[32] Dr. Siah
Khosiah, Op.cit, hal.23-24.
[33] Dedi
Sufriyadi, M.Ag, Op.cit. hal. 15-16.
[39] Dede Rosyada, Hukum
Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1996, hal.109.
[46] ‘Alauddin
Ibnu Mas‟ud al Kasani, Badai‟ al-Shanai‟, Beirut-Lebanon: Dar al Kutub
al Ilmiyah, 1986, juz.II, hlm. 257
[47] Muhammamd Ibn
Muhammmad al Babarti, Al Inayah Syarh Al-Hidayah, juz IV Maktabah Syamilah, hal 340.
[48] Imam Ibnu al Himam al Hanafiy, Syarh Fath al Qadir, Beirut-Lebanon:
Dar al Kutub al Ilmiyah, tt, juz III, hal, 211.
[50] Ibid, hal,210.
[52] Al Nawawi Abu Zakaria Yahya bin Syaraf, Takmilah
Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab,Op.cit Juz 19. Hal. 357.
[53] Ibid, hal 358
[54] Abdullah ibn hajaziy, Hasyiyah al Syarqawi, juz II, 1996, cet.I,
Beirut Lebanon: Dar al Fikr, hlm. 206
[55] Dr.Wahbah Al Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz IX
,Dimisqi Suriah, Dar Al-Fikr.2006.hal 6632
[58] Dr.Wahbah Al Zuhaili,op.cit,. hal 6631
[63] Abu Bakar Ahmad Ibn Husin Ibn Ali Al Baihqi, Sunan
Kubro Lil Baihaqi, juz VII, Wazar Al Awqaf, Mesir. t.t. hal 169 Maktabah
Syamilah
[64] Ibid. Hal 169.
[67] Abdurrahman Al Jaziri, al Fikhu Ala Mazahib al Arba’ah, juz 4, Dar
Al Fikr, t.t. Hal. 40 Maktabah Syamilah.
[69] Muhammad Ali Al Shabuni, Rawa’iu Al Bayan Fi Tafsiri Ayat Al Ahkam, Juz
I. Maktabah Al Ishriyah.2008. Hal.428-429.
[70] Ahmad Ibn Ali Al Makkani Bi abi Bakar Al Rozi Al Jasshos, Ahkamu Al
Qur’an Liljasshos,Juz II, t.t. hal.112.
[79] Ibn Qudamah, Al Mugni, Juz VI, Maktabah Al Riyadh Al Haditsiyah.
1981. Hal. 578-579.
[80] Kementrian Agama Kuait, Al Mausu’ah Al Fikhiyah, Juz 36, Dar Al
Shofwah Mesir. t.t. hal. 210. Maktabah Syamilah.
[81] Abdurrahman Ibn Muhammad Qasim al Hanbaly, Majmu’ Fatawa Syaikh al
Islam Ahmad Ibn Taymiyyah, Juz XXXII, Beirut: Dar al Kutub al Ilmiyah, t.t.
hal 134-135.
[82] Al Nawawi Abu
Zakaria Yahya bin Syaraf, Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al-Muhazzab, op,cit, hal. 362.
[84] Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46 PUU-VIII/2010. http://www.
Mahkamahkonstitusi.go.id/index.php?page=web.Putusan&id=136&kat=1&cari=
tgl: 21-6-2016
tapi kenapa susah di cari ya artikel saya di pencarian google
BalasHapusizin menyimak nggih
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus