BAB III
PENDAPAT DAN DALIL ULAMA SYAFI’IYYAH DAN ULAMA
HANAFIYYAH TENTANG WAKAF
UANG
A. Pendapat Imam Al-Mawardi (Syafi’iyyah) dan Ibn
Najim Al-Mishri (Ulama Hanafiyyah)
1. Biografi Ulama Syafi’iiyah (Al-Mawardi) dan
Hanafiyyah Ibn Najim Al
Mishri
a. Al-Mawardi
Nama
lengkapnya ialah Ali bin Muhammad bin Habib Al-Mawardi Al-Basri, Al-Syafie. Para ahli sejarah dan tabaqat memberi gelar
kepada beliau dengan sebutan Al-Mawardi,
Qadi al-Qudhat, Al-Basri dan Al-Syafi’i.[1]
Nama Al-Mawardi dinisbahkan
kepada air mawar. (ma’ul wardi) kerana bapak dan datuknya adalah penjual air mawar. Gelar Qadi Al-Qudhat disebabkan beliau
seorang ketua Qadi yang alim dalam bidang fikih. Gelar ini diterima pada tahun 429 Hijrah. Gelar
Al-Basri ialah karena beliau lahir
di Basrah. Sementara nama penggantinya (nama kinayah) ialah Abu Hassan.[2]
Imam Al-Mawardi dilahirkan di Basrah pada tahun 364 hijrah
bersamaan pada tahun 974 masehi. Beliau dibesarkan dalam keluarga yang mempunyai
perhatian yang besar kepada ilmu pengetahuan.[3]
Al-Mawardi
wafat pada tanggal 30 bulan Rabi’ul Awwal tahun 450 H bersamaan 27 Mei 1058 M. Ketika itu beliau berumur 86 tahun. Bertindak sebagai imam pada sholat Jenazah beliau Al-Khatib Al-Baghdadi.
Banyak para pembesar dan
ulama yang menghadiri pemakaman beliau. Jenazah Al-Mawardi dimakamkan di perkuburan Bab Harb di Baghdad. Kewafatannya
terpaut 11 hari dari kewafatan Qadi
Abu Taib.[4]
Berdasarkan informasi tersebut, terlihat bahwa Al-Mawardi
hidup pada masa kejayaan Islam, yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan
umat Islam mengalami puncak kejayaannya. Dari keadaan demikian ini, tidaklah
mengherankan jika Al-Mawardi tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam
bidang fikih dan sastrawan disamping juga sebagai politikus yang piawai.[5]
Ketajaman pemikiran Al-Mawardi dalam bidang politik
sebagaimana dijumpai dalam karyanya yang berjudul Al-ahkam As-Shulthoniyah secara
antropologis dan sosiologis tidak dapat dilepaskan dari situasi
politik yang tengah mengalami krisis. Pada masa itu kekuasaan Ab-Basiyah melemah,
sebagai akibat terjadinya penuntutan pejabat tinggi dari etnis turki untuk
merebut puncak pemerintahan. Kehendak itu tentu saja menimbulkan
reaksi keras dari kelompok penguasa
yang menghendaki kemapanan dan status quo.[6]
Sebagaimana telah disinggung secara singkat pada
pembahasan terdahulu bahwa Al-Mawardi Hidup Pada masa kejayaan kebudayan dan
ilmu pengetahuan Islam, secara pasti Al-Mawardi hidup pada masa kemunduran
dinasti Abasiyah. Situasi sosial politik pada masa Al-Mawardi adalah suatu
periode ketika kekhalifahan yang berpusat di Baghdad sedang mengalami degradasi
yang berakibat melemahnya sistem pemerintahan yang berakhir pada jatuhnya
daulah Abasyiyah pada tahun 656 H.[7]
Sebagaimana diketahui, pada awalnya Bagdad
merupakan pusat peradaban Islam dan poros
Negara Islam. Khalifah Bagdad merupakan otak dari perdaban itu, dan
sekaligus jantung Negara dengan kekuasaan dan wibawa yang menjangkau semua
penjuru dunia Islam. Akan tetapi lambat laun “cahaya gemerlapan” itu pindah dari
kota Baghdad kekota-kota lain.
Al-Mawardi Lahir ketika pemerintahan Abasyiyah mengalami krisis
tersebut. Dimana krisis tersebut terjadi dan tergambarkan berupa disintegrasi
sosial politik yang semakin lama semakin parah. Indikatornya antara lain banyak
dinasti yang lahir melepaskan diri dari kekuasaan Abasyiyah dan mendirikan
kerajaan-kerajaan kecil diluar wilayah Abbasyiyah.
Meskipun demikian, beberapa hal yang perlu
dicatat, bahwa ketikan dinasti ini mengalami kemunduran dibidang politik,
bidang filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang dan juga banyak
melahirkan ilmuan-ilmuan besar seperti Al-Farabi, Al-Mawardi, Al-Ghozali dan
sebagainya. Karena pemimpin-pemimpin
politik tersebut mempunyai perhatian yang besar pada semangat keilmuan. Selain itu
pada saat itu juga berkembang mainstream bahwa kekuatan kejayaan suatu
bangsa ada pada kekuatan ilmu pengetahuan, sehingga para pembesar dan para pemimpin
politik tersebut
berebut untuk mencurahkan segenap tenaganya pada bidang ini.
Kejayaan ilmu pengetahuan dalam Islam ini,
yaitu masa dimana ilmu pengetahuan yang dikembangkan umat Islam mengalami
puncak kejayaannya. Telah mengkondisikan jiwa Al-Mawardi sebagai seorang yang
punya semangat keilmuan yang tinggi dan berhasil mengantarkan Al-Mawardi
sebagai seorang pemikir hebat. Keadaan demikian ini tidaklah mengherankan jika
Al-Mawardi kemudian tumbuh sebagai pemikir Islam yang ahli dalam bidang fikih
dan sastrawan disamping juga sebagai politikus yang piawai.
Dalam
Sejarah pendidikannya, pada masa-masa Awal, Al-Mawardi menempuh pendidikan di negeri kelahirannya sendiri, yaitu Bashroh.
Di kota tersebut Al-Mawardi
sempat mempelajari hadis dari beberapa ulama terkenal seperti Al-Hasan Ibnu Ali
Ibnu Muhammad Ibn Al-Jabaly, Abu Khalifah Al-Jumhy, Muhammad Ibn ‘Adiy Ibnu Zuhar Al-Marzy,
Muhammad Ibnu Al-Ma’aly Al-Azdy serta Ja’far
bin Muhammad Ibn Al-Fadl Al-Baghdadi. Menurut pengakuan muridnya, Ahmad Ibn Ali Al-Khatib, bahwa dalam bidang Al-Hadis, Al-Mawardi
termasuk tsiqot.[8]
Setelah
mengenyam pendidikan dikota kelahirannya, ia pindah ke Baghdad dan bermukim di Darb Az-Za'farani. Disini Al-Mawardi belajar
hadis dan fikih serta bergabung
dengan halaqah Abu hamid Al-Isfiroini untuk menyelesaikan studinya. Selanjutnya, setelah ia menyelesaikan studinya di Baghdad, ia
berpindah tempat ke kota lain untuk menyebarkan ( mengamalkan ilmunya). Kemudian,
setelah lama berkeliling ke
berbagai kota, ia kembali ke Baghdad untuk mengajarkan ilmunya dalam beberapa tahun. Dikota itu ia mengajarkan Hadis, menafsirka
Al-Qur'an dan menulis
beberapa kitab diberbagai disiplin ilmu, yang hal ini menunjukkan bahwa
Al-Mawardi adalah seorang yang alim dalam bidang fikih, hadis, adab (sastra),
nahwu, filsafat,
politik, ilmu-ilmu sosial
dan akhlak. Hasil karyanya yang cemerlang tersebut
manjadikannya seorang penulis terkenal.[9]
Dalam catatan sejarah, Al-Mawardi juga
mendalami bidang fikih pada syekh Abu Al-Hamid Al-Isfarayani, sehingga ia
tampil salah seorang ahli fikih terkemuka dari madzhab Syafi’i.[10]
Sungguhpun Al-Mawardi tergolong sebagai penganut mazhab Syafi’i, namun dalam
bidang teologi ia juga memiliki pemikiran yang bersifat rasional,
hal ini antara lain bisa dilihat dari pernyataan Ibn Sholah yang menyatakan bahwa
dalam beberapa persoalan tafsir yang dipertentangkan antara ahli sunnah dan mu’tazilah,
Al-Mawardi ternyata lebih cenderung kepada Mu’tazilah.[11]
Terlepas dari pandangan-pandangan fikihnya,
yang jelas sejarah mencatat, bahwa Al-Mawardi dikenal sebagai orang yang sabar, murah hati
berwibawa dan berakhlak mulia. Hal ini antara lain diakui oleh para sahabat dan
rekannya yang belum pernah melihat Al-Mawardi menunjukkan budi pekerti yang
tercela.
Al-Mawardi pernah belajar dari ulama-ulama yang terkenal pada masa
itu diantaranya:
1)
Qadi Abu Qasim Abdul Wahid bin Husein Al-Syaimiri bermazhab
Syafi’i. Beliau telah mengarang kitab seperti al-Idha fi Mazhab, Kitab Qias
wa ‘ilal, Adab Mufti wa Mustafta dan lain-lain. Beliau
menuntut ilmu dari Abu Hamid
Al-Mawarzi dan Abu Fayad. Beliau wafat pada tahun 386 H.
2)
Muhammad bin
Adi Al-Munqari. Nisbah kepada bani Munqar bin Ubaid bin Muqa’is bin Amru bin Ka’ab. Hassan bin Ali bin Muhammad Al-Jily.
Al-Mawardi belajar dengannya ilmu Hadis. Muhammad bin Al-Mu’ally Al-Azdy.
Al-Mawardi belajar dengannya ilmu bahasa Arab.
3)
Ja’far bin
Muhammad Al-Fadal bin Abdullah Abu Qasim Al-Daqaq. Beliau juga dikenali sebagai Ibn Marastani Al-Baghdadi. Wafat pada 387 H. Al-Mawardi belajar dengannya ilmu Hadis.
4)
Syeikh Islam
Abu Hamid, Ahmad bin Abu Tahir Muhammad bin Ahmad Al-Isfarayni. Lahir pada
tahun 344 H. Seorang ulama
Syafi’iyah yang terkemuka di
Baghdad. Beliau menghabiskan umurnya hanya dengan ilmu di Kota Baghdad. Mempunyai ketegasan dan keberanian dalam mengatakan kebenaran. Beliau belajar fikih dengan Abu Hassan, Ibn Marzan, Abu Qassim Darki dan lain-lain ulama yang masyhur sehingga beliau
menjadi ulama yang
disegani. Beliau mempunyai kitab Ta’lik syarah Mazni sebanyak 50 jilid dan juga kitab dalam usul Fikih. Abu Hassan Qadrawin
menyebutkan bahwa tidak
pernah saya melihat seorang yang alim dalam mazhab Syafi’i yang lebih faqih dari Abu Hamid. Beliau telah wafat pada tahun 406 H.
5)
Abu Muhammad,
Abdullah bin Muhammad Al-Bukhary terkenal dengan al-Bafi Al-Khawarijmi. Beliau
merupakan murid kepada Abu Ali bin Abu Hurairah dan Abu Ishak Al-Marwazi. Al-Zahibi menyebutkan bahawa Abu Muhammad merupakan seorang yang alim, terutama dalam bahasa Arab
dan kesusasteraannya.
Beliau telah wafat pada bulan Muharram tahun 398 H dan disembahyangkan oleh al-Isfarayni.[12]
Adapun Murid-Murid Imam al-Mawardi:
1)
Ahmad bin Ali
bin Sabit bin Mahdi Al-Hafiz Abu Bakar Al-Khatib al-Baghdadi seorang ahli hadis.
2)
Abdul Malik bin
Ibrahim bin Ahmad Abu Fadal Al-Hamazi Al-Faradi terkenal dengan al-Maqdisi.
3)
Ali bin Saad
bin Abdul Rahman bin Muhriz bin Abu Uthman dikenali Abu Hassan Al-Abdari.
4)
Mahdi bin Ali
Al-Isfarayni al-Qadi Abu Abdullah.Beliau mempunyai kitab ringkasan dalam bidang fikih yang berjudul al-Isti’na’.
5)
Ibn Khairun,
Imam Al-Alim al-Hafiz al-Musnadu l-hujjah, Abu Fadli Ahmad bin Hassan bin Ahmad bin Khairun al-Baghdad al-Muqarri Ibn al Baqalani.
6)
Abdul Rahman
bin Abdul Karim bin Hawazan Abu Mansur Al-Khasayri.
7)
Abdul Wahid bin Abdul Karim bin
Hawazin Al-Ustaz Abu Said ibn Al-Ustaz Abu Qassim
al-Khusayri di gelar sebagai Rukunul-Islam.
8)
Abdul Ghani bin Nazil bin Yahya
bin Hasan bin Yahya bin Shahi Al-Alwahi Abu Muhamad
Al-Misri berasal dari negeri Mesir.
9)
Ahmad bin Ali bin Badran, Abu
Bakar Hulwani.
10) Syeikh Islam, Imam Al-Hafiz Al-Mufidu musnid, Abu Gana’im Muhamad bin Ali bin Maimum bin Muhamad Al-Nursi, Al-Kufi.
11) Dan Lain-lainnya yang juga murid Al-Mawardi.[13]
Ditengah-tengah kesibukannya sebagai Qodhi,
Al-Mawardi juga banyak memanfaatkan waktunya untuk banyak membuat karya
tulis/ilmiah. Tidak kurang dari 12 judul
yang secara keseluruhan dapat dibagi tiga kelompok pengetahuan, yaitu:
Kelompok pengetahuan agama antara lain:
1)
Kitab
Tafsir yang berjudul An-Nukat wa al’uyun.
2)
Al Hawi Al-Kabir.
3)
Al-Iqra’.
4)
Adab
Al-qodhi.
5)
Al-Iqna’.
6)
‘Alam An-Nubuwah.
Kelompok
pengetahuan politik dan ketatanegaraan antara lain:
7)
Al-Ahkam as Sulthoniyah
8)
Nasihat Al-Mulk.
9)
Tshil an-Nazar
Wa Ta’jil Az-zafar.
10) Qowanin
al-Wizaroh Wa Siasat Al-Mulk.
Selanjutnya
adalah kelompok pengetahuan bidang akhlak yang termasuk kelompok bidang ini adalah
11) Kitab
an-Nahwu
12) al-Ausat wa’alhikam
13) al-Bughyah fi adab ad-Dunnya waddin.
14) kitab
Adab ad-Dunya wa ad-Din.
Adapun tipologi pemikiran mazhab Syafi’i atau
Metode Istinbath mazhab Syafi’i didasarkan pada Al-Qur’an, As-Sunnah,
Ijma’ dan Qiyas. Fikih Syafi’i merupakan campuran antara fikih
ahli Ra’yu dan ahlu Hadist. Perpaduan ini ia bangun dalam kitab ushul fikih
yang dikenal dengan aliran mutakallimin (kalam).
Mazhab Syafi’i menggunakan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum dan syari’at. Lalu ia merujuk pada hadist sebagai
penetapan hukum. Jika hadis di anggap sudah cukup dalam menetapkan hukum, ra’yu
ia kesampingkan.
Mazhab syafi’i menggunakan Iijma’ sebagai
penetapan hukum setelah hadis karena secara empiris, fikihnya
mengarahkan ijma’ sebagai hujjah, bahkan lebih mengutamakan ijma’
atas hadis yang disampaikan satu orang (hadis ahad).
Selanjutnya
mazhab Syafi’i menetapkan qiyas dalam
metode istinbath-nya. Dapat dikatakan bahwa mazhab Syafi’i adalah orang pertama yang
menjelaskan qiyas secara
terperinci. Mazhab
Syafi’i menolak metode istihsan Abu Hanifah karena ia menganggap istihsan
tidak di sandarkan pada Al-Qur’an.[14]
Sedangkan metode ijtihad mazhab Syafi’i dan pola pikir
mazhab Syafi’i secara garis besar dapat dilihat dari kitab Al-Um, yang
menguraikan sebagai berikut:
العلم طبقات شتى. الأولى, الكتاب والسنة إذاثبتت : ثم الثانية: الإجماع
فيماليس فيه كتاب ولاسنة : والثالثة: أن يقول بعض أصحاب رسول الله صلى الله عليه
وسلم قولا ولانعلم له مخالفة منهم. والرابعة, اِختلاف أصحاب النبي صلى الله عليه
وسلم فى ذلك. الخامسةز القياس ولايصار إلى شيئ غير الكتاب والسنة وهما موجودان
وإنما يؤخذ العلم من الأعلى[15]
Selanjutnya istidlal mazhab Syafi’i semuanya
terangkum dalam kitab Ar-Risalah sekaligus merupakan buku metodologisnya
yang pertama terutama ushul fikih.
Dari kutipan di atas, tampaknya Al-Qur’an, hadist, ijma’,
dan qiyas menjadi faktor utama dalam landasan mazhab Syafi’i.
Sedangkan metode lainnya, seperti istinbath, istihsan, saddu dzari’ah hanyalah
metode dalam merumuskan dan menyimpulkan hukum-hukum dari sumber utamanya
(Al-Qur’an dan hadis).[16]
b. Biografi Ibn Najim Al-Mishri
Zainuddin Ibn Najim Al-Mishri adalah seroang
ulama Ushul Fikih Mazhab Hanafi, ia sangat memperhatikan fikih mazhab Hanafi
dan yang terpenting dalam hidupnya. Ia wafata pada hari rabu tanggal 8 Rajab
969 atau 970 Hijriah dan umur beliau ketika itu 43 tahun dan dikuburkan bersamaan dengan saudaranya Syekh Umar
berdekatan dengan maqam anak Sayyidina Husin Sakinah binti Husin.
Adapun guru-gurunya adalah
1) Syarafuddin Al-Bulqini ia belajar fikih kepadanya
2) Syekhul Islam Syihabuddin Ahmad Ibn Yunus al-Mishri al-Hanafi yang lebih
dikenal dengan Ibn Tsalabi.
3) Imanuddin Ibn All Al-Hanafi ia juga belajar fikih kepadanya
4) Abi Al-Faidhi As-Salami.
5) Nuruddin Ad Dailami al-Maliki ia belajar ilmu Mantiq dan ilmu Lugat.
6) Al-arif Billah Sulaiman AL-Hadhiri ia belajar ilmu Tasawwuf dengannya.
Adapun ulama-ulama yang pernah belajar
kepadanya dan menjadi muridnya antara lain:
1) Sirajuddin Umar Ibn Ibrahim Ibn Muhammad Ibn Najim Saudara Ibn Najim
pengarang kitab An Nahru Al-Fa’iq Syarh Kanzud Daqaqiq.
2) Syamsuddin Abu Abdillah Muhammad Ibn Abdillah Al-Khatib Al-Ghazi pengarang
kitab ushul Fikih Tanwir Al-Abshar Al-Hanafi.
3) Muhammad Ilmi Al-Maqdisi.
4) Abdul Gaffar Mufti Baitul Maqdis, dan Muhammad Ibn Abdillah Al-Arabi
AL-Hanafi pengarang kitab Muayyanil Mufti Ala Jawabil Mustafti.
Adapun karya-karya beliau diantaranya:
1) Kitab Al-Bahru Ar-Ra’iq Syarh Kanzud Daqa’iq.
2) Al-Asybah Wan Nazha’ir Fi Furu’i Al-Hanafi.[17]
Adapun tipologi atau metode ijtihad Abu Hanifah salah
satunya adalah istimbath, yang terkenal dari Abu Hanifah adalah
penggunaan akal sehat, bahkan dalam bebrapa hal, ia seperti mementingkan
pertimbangan akal daripada hadis. Urutan metode
pemikiran Abu Hanifah terlihat dari pernyataannya:
“Saya
mendasarkan pemikiran pada kitab Allah apabila saya mendapatkannya. Jika tidak
mendapatkannya, saya mendasarkan diri pada sunnah rasul dan atsar-atsarnya yang
sahih dan masyhur dari orang-orang yang terpercaya. Apabila hanya mendapatinya
dalam kitab Allah dan Sunnah Rasul, saya berpegang pada perkataan sahabat. Saya
ambil yang saya kehendaki dan saya tinggalkan yang saya tidak kehendaki. Saya
tidak keluar dari perkataan sahabat kepada perkataan orang lain. Apabila
keadaan telah sampai kepada Ibrahim Al-Nakhai’, As-Sa’bi, Al-Hasan, Ibn Siri,
dan Sa’id bin Musayyab, saya pun berijtihad sebagaimana mereka berijtihad.”[18]
Menurut Sahl bin Muhazim, Abu Hanifah
berpegang kepada riwayat yang terpercaya, yaitu orang-orang yang menjauhkan
diri dari keburukan dan memerhatikan muamalah sesama manusia serta kebiasaan (u’ruf).
Selain itu Abu Hanifah juga menggunakan Qiyas,
jika tidak ada dalam qiyas ia berpegang kepada istihsan selama
itu dapat dilakukan. Jika tidak dipahami dari istihsan ia berpegangn
kepada ‘uruf.
Dapat dipahami metode pemikiran Abu Hanifah
yang dikembangkan dalam Mazhabnya secara berurutan meliputi kitabullah, sunnah
tetapi hadis-hadis yang benar-benar sahih dan mu’tamad saja yang dijadikan
sandaran selain itu juga berdasarkan fatwa para sahabat, qiyas, dan urf.[19]
Abu Hanifah adalah satu-satunya Imam Mazhab yang berkebangsaan
bukan Arab. Selain itu ia juga tinggal di Kufah yang jauh dari pusat peredaran hadis. Kalaupun hadis beredar
itu hanya karena alasan politik. Dan menjadikan kufah tempat pemalsuan hadis.
Faktor sosial historis tersebut yang mempengaruhi metode pemikiran
Abu Hanifah adalah:
1) Hadis-hadis yang berada di Irak tidak sebanyak
di Hijaz sehingga para fuqaha Irak dituntut untuk mempergunakan akal dan
berusaha memahami pengertian nash dan illat sebagai suatu
penetapan suatu hukum dari syari’at.
2)
Irak merupakan
pusat pergolakan politik sehingga para fuqaha dituntut berhati-hati dalam
menerima periwayatan hadis.
3)
Secara
kultural, Irak termasuk ke dalam rumpun kebudayaan Persia sehingga hal ini pun
menjadi salah satu pertimbangan para fuqaha untuk menciptakan syari’at yang
memiliki basis kultural yang dipengaruhi budaya Persia.[20]
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dasar-dasar pegangan Abu Hanifah
adalah:
1)
Kitab Allah
(Al-Qur’an).
2)
As-Sunnah dan
Atsar-atsar yang sahih serta telah masyhur di kalangan para ulama yang ahlu.
3)
Fatawa-fatwa
dari sahabat.
4)
Ijma’.
5)
Al-qiyas.
6)
Al-Istihsan.
7)
Al-‘Urf.[21]
Selain pengambilan istimbath hukum yang
sedikit berbeda dengan ulama Mazhab yang lain ulama Hanafiyyah juga memiliki
kajian ushul fikih yang berbeda dengan ulama yang lain.
Aliran Hanfiyyah di namakan aliran fuqaha’, karena aliran ini dalam membangun teori
ushul fikihnya banyak di pengaruhi oleh masalah furu’ dalam
mazhab mereka. Artinya, mereka tidak membangun suatu teori kecuali setelah
melakukan analisis terhadap masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab
mereka. Dalam menetapkan teori tersebut, apabila terdapat pertentangan antara
kaidah yang ada dengan hukum furu’, maka kaidah tersebut diubah dan
disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut. Oleh sebab itu, aliran ini
berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan hukum-hukum furu’
yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah pun yang tidak bisa
diterapkan. Aliran ini juga disebut dengan aliran kaum juris (fuqaha)
dengan menggunakan metode induktif, yaitu menetapkan teori-teori umum
yang didasarkan pada hukum-hukum furu’.[22] Aliran fuqaha
dalam sistem penulisannya banyak diwarnai oleh contoh-contoh fikih. Dalam merumuskan
kaidah ushul fikih mereka berpedoman kepada pendapat-pendapat fikih Abu Hanifah
dan pendapat-pendapat para muridnya serta melengkapinya dengan contoh-contoh.[23]
Aliran ini juga disebut aliran yang
menggunakan metode ushul Hanafiyah karena mengarah pada penyusunan ushul fikih
yang terpengaruh pada furu’ dan menyesuaikannya bagi kepentingan furu’
dan berusaha mengembangkan ijtihad yang telah berlangsung sebelumnya. Hal ini
berarti bahwa pengikut madzhab melakukan ijtihad untuk memelihara hukum fikih
yang dicapai oleh ulama pendahulu madzhabnya. Mereka
mengemukakan kaidah-kaidah yang mendukung dan menguatkan madzhab mereka. Ulama
fuqaha yang lebih banyak menggunakan metode ini adalah ulama kelompok Hanafiyah.[24] Oleh karena itu, metode ushul fikih yang digunakan dalam aliran ini
disebut aliran Hanafiyah.
Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin yang sama
sekali tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhabnya, sehingga
sering terjadi pertentangan kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang
kaidah yang dibangun sulit untuk diterapkan. Apabila suatu
kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka berusaha untuk mengubah
kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai dengan masalah furu’
yang mereka hadapi.[25] Misalnya,
mereka menetapkan kaidah bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i
(pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi pertentangan dalil umum dengan hadis ahad
(bersifat zhanni), maka dalil yang umum itu yang diterapkan, karena hadis
ahad hanya bersifat zhanni (relatif), sedangkan dalil umum tersebut
bersifat qath’i, yang qath’i tidak bisa dikalahkan dan
dikhususkan oleh yang zhanni.
Penyusunan seperti ini dilakukan oleh aliran Hanafiyyah
karena Abu Hanifah tidak meninggalkan buku ushul fikih. Usul fikih mazhabnya
disimpulkan kemudian oleh pengikutnya dari hasil-hasil fatwa para muridnya.
Setiap kaidah diuji kebenarannya dengan hasil ijtihad yang telah terbentuk,
bukan sebaliknya dimana hasil ijtihad yang sudah terbentuk diuji kebenarannya
dengan kaidah-kaidah ushul fikih seperti dalam aliran mutakallimin.[26]
Dimana ciri khas aliran Hanafiyyah bahwa kaidah yang disusun dalam ushul fikih
mereka semuanya dapat diterapkan. Ini logis karena penyususnan ushul fikih
mereka terlebih dahulu disesuaikan dengan hukum furu’ yang terdapat dalam
mazhab mereka. Pendekatan seperti ini memberi peluang kepada para ulamanya
untuk melahirkan kaidah-kaidah baru yang sebelumnya belum diangkat oleh ulama
mazhabnya sendiri. Kendati demikian, kaidah-kaidah baru tersebut, pada faktanya
tidak senantiasa terkait dengan kaidah-kaidan ulama mazhabnya.[27]
Ini tentu berbeda dengan aliran Syafi’iyyah yang tidak
berpedoman pada hukum Furu’ dalam
menyusun ushul fikih mereka. Konsekwensinya tidak jarang terjadi pertentangan
ushul fikih Syafi’iyyah dengan hukum furu’ dan kadangkala kaidah yang
disusun aliran ini sulit diterapkan. Abu zahrah menyatakan bahwa perbedaan
prinsipil antara aliran kalam dengan aliran Hanafiyah, terletak pada posisi
kaidah-kaidah ushul ulama madzhabnya. Kaidah-kaidah imam al-Syafi’i sebagai
tokoh utama aliran kalam, bagi para pengikutnya merupakan kaidah-kaidah umum
yang langsung dapat dikembangkan pada berbagai furu’ yang mereka hadapi.
Sementara kaidah-kaidah Abu Hanifah, bagi para pengikutnya banyak
dipergunakan sebagai rujukan dalam perumusan kaidah-kaidah baru.[28]
Meskipun aliran ushul fikih ini tampaknya
statis serta sedikit manfaatnya lantaran semata-mata untuk memperthankan
madzhab tertentu, akan tetapi secara umum madzhab metode tersebut mempunyai
pengaruh besar terhadap pemikiran fikih, pengaruh tersebut antara lain sebagai
berikut:
1) Meskipun metode tersebut semata-mata untuk
mempertahankan madzhabnya, Akan tetapi sebagai metode untuk berijtihad ia
merupakan kaidah-kaidah yang berdiri sendiri, sehingga dapat dijadikan
perbandingan antara kaidah-kaidah tersebut, dengan kaidah-kaidah yang lain. Dengan
mengadakan perbandingan, maka secara obyektif dan diperoleh metode yang lebih
benar dan kuat.
2) Karena metode tersebut diterapkan terhadap
masalah-masalah furu’, maka ia bukan merupakan pembahasan yang universal
dan kaidah-kaidah yang umum yang dapat diterapkan pada masalah-masalah furu’.
Dengan mengkaji universalitas kaidah-kaidah tersebut, akan
memberikan kekuatan tersendiri.
3) Mengkaji ushul fikih dengan sistem tersebut, sama dengan mengkaji
perbandingan masalah-masalah fikih. Kajian tersebut bukannya membandingkan
antara masalah-masalah pokok. Sehingga seseorang tidak hanya mengkaji
masalah-masalah cabang yang tidak ada kaidahnya, tetapi memperdalam
masalah-masalah yang bersifat universal untuk menggali hukum masalah-masalah furu’
(juz’i).
4) Kajian ini memberikan kaidah pada masalah-masalah furu’,
seperti masalah-masalah pokok. Dengan kaidah ini akan diketahui cara menetapkan
hukum, merinci masalah-masalah furu’, serta memberikan ketentuan hukum
terhadap permasalahan yang terjadi pada saat itu dan belum pernah terjadi pada
masa imam-imam terdahulu. Tentu hukum-hukum tersebut tidak akan menyimpang dari
ketentuan madzhab mereka, karena hukum-hukum tersebut merupakan pokok yang
menetapkan hukum-hukum masalah furu’.[29]
Tidak dapat diragukan lagi, bahwa dengan berkembangnya madzhab
tersebut, mak menjadi luaslah cakrawala hukum. Demikian juga para ulamanya
tidak hanya mandeg pada hukum-hukum yang diriwayatkan dari para imam madzhab
saja, tetapi mereka juga mengembangkan hukum-hukum tersebut dan menetapkan hukum
terhadap masalah-masalah yang terjadi dengan menggunakan metode dari para imam
terdahulu.
Adapun kitab-kitab ushul fikih yang disusun menurut aliran ini
adalah:
1) al-Ushul karya Abil Hasan al-Karkhi (wafat 340 H).
2) Ushulul Fikih karya Abu Bakar ar-Razi yang
terkenal dengan nama al-Jashshash (wafat 380 H).
3) Ta’sisun Nazhar karya ad-Dabusi (wafat 430 H).
Setelah
itu munculah seorang ulama besar yang bernama al-Bazdawi (wafat 483 H). Dia
menyusun sebuah kitab yang diberi nama Ushul al-Bazdawi, sebuah kitab
usul fikih yang ringkas dan mudah dicerna. Kitab tersebut terbilang kitab yang
paling jelas dan mudah yang disusun menurut metode madzhab Hanafi. Kemudian
muncul pula imam as-Sarkhasi penyusun kitab al-Mabshuth yang menyusun
sebuah kitab yang senada dengan kitab al-Bazdawi, hanya lebih luas dan
mendetail. setelah itu terbitlah beberapa kitab yang disusun menurut metode
tersebut yang meresume dan menjabarkan kitab-kitab terdahulu, seperti kitab al-manar.[30]
2. Pendapat Ulama Syafi’iyyah Dan Hanfiyyah Tentang Wakaf Uang
a. Pendapat Imam Mawardi (Ulama Syafi’iyyah) Tentang wakaf uang
Penulis menjadikan Ulama Syafi’iyyah dana
Hanafi sebagai batasan analisa. Dengan demikian, maka penulis bermaksud
memaparkan bagaimana pendapat Ulama Syafi’iyyah dan Hanafi yang berkaitan
dengan hukum mewakafkan uang.
Maka penulis memulai membahas tentang pendapat
Ulama Syafi’iyyah, yang penulis maksud dengan Ulama Syafi’iyyah adalah terbatas
pada Ulama Fikih Syafi’i pada kitab yang penulis jadikan bahan hukum primer
yaitu kitab Al-Hawi Al-Kabir karya Imam Mawardi.
Dalam pandangan Ulama Ulama Syafi'iyyah wakaf
adalah penahanan harta yang dapat dimanfaatkan dengan menjaga keutuhan barang
untuk digunakan dalam hal-hal yang dibolehkan, dan pewakaf tidak berhak dalam ikut
serta pengelolaan hartanya.[31] Dalam
mazhab Syafi'iyah, masalah mawakafkan uang mereka memiliki dua pendapat yang
paling benar (ashah) adalah hukum pelarangan wakaf dengan harta
berbentuk dinar dan dirham (emas dan perak), baik dimanfaatkan untuk perhiasan
maupun untuk digunakan meraup keuntungan. Begitu
pula bunyi salah satu riwayat mazhab Hanabilah, hukum wakaf
uang adalah dilarang.
Dalam kitab Al Hawi Kabir karya AL-Mawardi, Al-Mawardi
berpendapat bahwa:
وَقْفُ
الدِّرْهَمِ وَالدَّنَانِيرِ حكمه لَا يَجُوزُ وَقْفُهَا لِاسْتِهْلَاكِهَا
فَكَانَتْ كَالطَّعَامِ, وَإِنْ وَقَفَهَا لِلْإِجَارَةِ وَالِانْتِفَاعِ
الْبَاقِي ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ كَمَا قُلْنَا فِي الْإِجَارَةِ.[32]
Menurut AL-Mawardi mewakafkan dirham dan dinar (uang)
hukumnya adalah tidak boleh karena uang akan habis apabila dipakai maka hukumnya seperti mewakafkan makanan yang
akan habis apabila digunakan, adapun apabila mewkafkan uang untuk disewakan dan
dimanfaatkan untuk wakaf dari sisa dari uang yang disewakan. Dan permasalahan
mewakafkan uang untuk diwakafkan ada dua pendapat sebagaimana yang dijelaskan
pada Bab Ijarah.
وَفِي جَوَازِ إِجَارَتِهِ
وَجْهَانِ : وَهُوَ الدَّرَاهِمُ ، وَالدَّنَانِيرُ ؛ إعارة وإجارة لِأَنَّ فِي
التَّجَمُّلِ بِهَا نَفْعًا ، وَالْفَرْقُ بَيْنَ الْعَارِيَةِ ، وَالْإِجَارَةِ
فَإِنِ اخْتَصَّا بِمِلْكِ الْمَنْفَعَةِ إِنَّ حُكْمَ الْعَارِيَةِ أَوْسَعُ مِنْ
حُكْمِ الْإِجَارَةِ ؛ لِأَنَّهُ يَجُوزُ أَنْ يَسْتَعِيرَ مَا يَرْهَنُهُ ، وَلَا
يَجُوزُ أَنْ يَسْتَأْجِرَ مَا يَرْهَنُهُ ، فَلِذَلِكَ صَحَّ أَنْ يَسْتَعِيرَ
الدَّرَاهِمَ إِنْ لَمْ يَجُزْ فِي أَحَدِ الْوَجْهَيْنِ أَنْ يَسْتَأْجِرَهَا.[33]
Di dalam kitab Al-Hawi Al-Kabir pada bab Ijarah
Al-Mawardi menjelaskan tentang hukum menyewakan uang, dalam permasalahan ini
uang bisa disewakan dan dipinjamkan yang manfaatnya digunakan untuk perhiasan.
Adapun dalam hukum uang untuk disewakan dan dipinjamkan memiliki perbedaan,
untuk permasalahan uang yang dipinjamkan hukumnya lebih luas dari permasalahan
uang yang disewakan.
Menurut Al-mawardi hukum meminjamkan uang untuk
digadaikan hukumnya dibolehkan, sedangkan uang yang disewakan untuk digadaikan
hukumnya tidak boleh.
وَمَا لَمْ يَصِحَّ
الِانْتِفَاعُ بِهِ مَعَ بَقَاءِ عَيْنِهِ لَمْ تَصِحَّ إِجَارَتُهُ
كَالدَّرَاهِمِ ، وَالْمَأْكُولِ ؛ لِأَنَّ مَنْفَعَةَ الدَّرَاهِمِ
بِإِزَالَتِهَا عَنِ الْمِلْكِ وَمَنْفَعَةَ الْمَأْكُولِ بِالِاسْتِهْلَاكِ .
فَإِنِ اسْتَأْجَرَهُمَا لِمَنْفَعَةٍ تُسْتَوْفَى مَعَ بَقَاءِ أَعْيَانِهِمَا
كَاسْتِئْجَارِ الدَّرَاهِمِ لِلْجَمَالِ وَاسْتِئْجَارِ الطَّعَامِ لِيُعْتَبَرَ
مِكْيَالًا فَفِيهِ لِأَصْحَابِنَا وَجْهَانِ : أَحَدُهُمَا : يَصِحُّ لِوُجُودِ
الْمَعْنَى مِنْ حُصُولِ الِانْتِفَاعِ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ . وَالْوَجْهُ
الثَّانِي : لَا يَصِحُّ ؛ لِأَنَّ هَذَا نَادِرٌ مِنْ مَنَافِعِ ذَلِكَ ،
وَالْأَغْلَبُ سِوَاهُ فَصَارَ حُكْمُ الْأَغْلَبِ هُوَ الْمُغَلَّبَ . وَلِأَنَّ
الْمَنَافِعَ الْمَضْمُونَةَ بِالْإِجَارَةِ هِيَ الْمَضْمُونَةُ بِالْغَصْبِ ،
وَمَنَافِعُ الدَّرَاهِمِ وَالطَّعَامِ لَا تُضْمَنُ بِالْغَصْبِ فَلَمْ يَصِحَّ
أَنْ تُضْمَنَ بِالْإِجَارَةِ.[34]
Al-Mawardi kembali menjelaskan
mengenai hukum mewakafkan uang untuk disewakan, menurut Al-Mawardi uang tidak
sah untuk dimanfaatkan untuk disewakan sebagaimana dalam permasalahan wakaf
uang karena uang hanya bisa diambil manfaatnya dengan cara menghilangkannya
dari kepemilikan sehingga uang tersebut habis.
Menurut Al-Mawardi tentang kebolehan menyewakan uang ada dua pendapat
diantara murid-murid Imam Syafi’i, Pertama, boleh karena ketika menyewakan uang
terdapat sebab yang membolehkan yaitu bisa diambil manfaatnya dan uang tersebut
tetap ada. Kedua, Tidak sah karena menyewakan uang untuk diambil manfaatnya
adalah sesuatu yang jarang, maka sesuatu pekerjaan yang yang jarang tidak boleh
dipakai karena menyalahi kebiasaan.
Dan Al-Mawardi juga memberikan
penjelasan mengapa uang tidak bolehdiwakafkan untuk dipergunakan disewakan,
menurut Al-Mawardi uang yang diwakafkan dan digunakan untuk ijarah digantungkan
kepada apabila uang tersebut dicuri atau ketieka menjadi modal usaha mengalami
kerugian maka tidak wajib mengganti maka hukum memwakafkan uang tidak sah.
Dari pendapat ini dapat kita
ketahui bahwa apabila uang diwakafkan baik untuk dipergunakan untuk ijarah atau
untuk dijadikan modal usaha (mudharabah) maka manfaatnya akan hilang
apabila uang tersebut dicuri atau hilang, dan jika dijadikan modal usaha
manfaat uang akan hilang apabila yang menjalankan usaha mengalami kerugian maka
uang yang diwakafkan akan berkurang bahkan uang tersebut akan habis apabila
kerugiannya besar, sedangkan kerugian harus ditanggung bersama, maka hukum
mewafkan uang untuk dijadikan modal usaha (mudharabah) hukumnya tidak
boleh karena uang tersebut akan habis apabila mengalami kerugian.
Sebagaimana Pendapat
Al-Mawardi di dalam kitab Asna Al Mathalib Imam Nawawi juga berpendapat bahwa
tidak boleh mewakafkan uang karena uang tidak sah disewakan:
يَجُوزُ وقف حُلِيٍّ لِلُبْسٍ لَا وَقْفُ النَّقْدَيْنِ كما
لَا تَصِحُّ إجَارَتُهُمَا. [35]
Selain itu Imam Nawawi juga
menjelaskan didalam kitab Al-Majmu’ Syarh Al Muhazzab tentang mewakafkan
uang:
لاتصح إجارة الدنانير
والدراهم ولم يصح وقفها وهذا هو الصحيح لأنه لاخلاف أنه لو غصب منه دراهم
والدنانير لم يجب عليه اجرتها. [36]
Menurut Imam Nawawi mejadikan uang sebagai barang sewaan
hukumnya tidak sah karena itu juga mewakafkan uang juga tidak sah, dan pendapat
ini adalah pendapat yang Shahih pada majhab Syafi’i, Imam Nawawi
berpendapat uang tidak sah untuk diwakafkan karena apabila uang dicuri atau
dirampas maka tidak akan didapatkan hasil dari menyewakan uang tersebut,
sebagaimana uang tersebut dijadikan sebagai modal usaha apabila mengalami
kerugian maka tidak akan mendapat haril dari uang yang diwakafkan bahkan uang
yang diwakafkan akan habis karena mengalami kerugian sedangkan salah satu
syarat benda wakaf benda yang diwakafkan harus kekal dan tidak akan habis.
Di dalam kitab Tuhfah Al-Muhtaj Bi Syarh Minhaj Ibnu
Hajar Al Haitami juga membahas tentang wakaf uang:
وخرج مالا يقصد كنقد
للتزيين به أو الاتجار فيه وصرف ربحه للفقراء مثلا. [37]
Menurut Ibn Hajar Al Haytami Dinar dan Dirham (uang) yang
diwakafkan untuk perhiasan atau untuk disewakan dan hasil dari sewa wakaf uang
diberikan kepada faqir miskin, maka hal tersebut tidak termasuk kategori benda
wakaf yang bisa dimanfaatkan dan kekal bendanya.
Selain pendapat-pendapat di atas di dalam kitab Fath
Al-Qarib juga di jelaskan tentang syarat-syarat benda wakaf yang sah untuk
diwakafkan:
الوقف جائز وله ثلاثة شروط
أحدها أن يكون الموقوف مما ينتفع به مع بقاء عينه ويكون الانتفاع مباحاً مقصوداً،
فلا يصح وقف آلة اللهو، ولا وقف دراهم للزينة، ولا يشترط النفع في الحال فيصح وقف
عبد وجحش صغيرين، وأما الذي لا تبقى عينه كمطعوم وريحان فلا يصح وقفه و الثاني أن
يكون الوقف على أصل موجود وفرع لا ينقطع فخرج الوقف على من سيولد للواقف، ثم على
الفقراء ويسمى هذا منقطع الأول، فإن لم يقل ثم الفقراء كان منقطع الأول والآخر،
وقوله، لا ينقطع احتراز عن الوقف المنقطع الآخر. كقوله وقفت هذا على زيد ثم نسله،
ولم يزد على ذلك، وفيه طريقان أحدهما أنه باطل كمنقطع الأول، وهو الذي مشى عليه المصنف،
لكن الراجح الصحة و الثالث أن لا يكون الوقف في محظور بظاء محرّم فلا يصح الوقف
على عمارة كنيسة للتعبد.[38]
Pendapat di atas menjelaskan bahwa salah satu syarat sah
benda yang diwakafkan adalah benda yang bisa diambil manfaat dan tidak akan
habis, maka menurut beliau uang tidak sah untuk diwakafkan.
Setelah penulis menguraikan mengenai pendapat Al-Mawardi
dalam kitab Al-Hawi Kabir dan juga pendapat Imam yang lainnya dari
ulama-ulama Syafi’iyyah tentang hukum mewakafkan uang maka penulis dapat
menarik kesimpulan bahwa menurut ulama Syafi’iyyah mewakafkan uang hukumnya
tidak sah, adapun alasan mereka adalah karena cara memanfaatkan uang dengan
menghilangkan bendanya dan juga menurut mereka hukum mewakafkan uang terhubung
dengan apabila uang tersebut dicuri maka yang menjalankan uang tersebut tidak
wajib mengganti maka harta wakaf tersebut tidak bisa diambil manfaatnya lagi
maka hukumnya tidak sah mewakafkan uang.
b. Pendapat Ibn Najim Al-Mishri (Hanafiyyah) tentang Wakaf Uang
Selain
Ulama Syafi'iyyah penulis juga menjadikan Ulama Hanafi sebagai batasan
pembahasan, selain itu yang penulis maksud dengan Ulama Hanafi yaitu terbatas
pada Ulama Fikih mazhab Hanafi pada kitab yang penulis jadikan bahan primer,
yaitu Al-Bahru Al-Raiq Sarh Kanju Al-Daqa’iq karya Ibn Najim Al-Mishri.
Berbeda dengan pendapat Al-Mawardi di dalam
kitab al-Hawi Kabir yang menyatakan bahwa wakaf uang tidak sah, pendapat
Ibn Najim Al-Mishri Al-Hanafi di dalam kitabnya Al-Bahru Al-Ra’iq Sarh Kanju
Al-Daqa’iq menyebutkan bahwa mewakafkan uang hukumnya boleh berdasarkan
pendapat Ashhab Zufar:
وَعَنْ الْأَنْصَارِيِّ
وكان من أَصْحَابِ زُفَرَ في من وَقَفَ الدَّرَاهِمَ أو الدَّنَانِيرَ أو
الطَّعَامَ أو ما يُكَالُ أو يُوزَنُ أَيَجُوزُ قال نعم قِيلَ وَكَيْفَ قال
تُدْفَعُ الدَّرَاهِمُ مُضَارَبَةً ثُمَّ يُتَصَدَّقُ بها في الْوَجْهِ الذي
وَقَفَ عليه وما يُكَالُ وما يُوزَنُ يُبَاعُ وَيُدْفَعُ ثَمَنُهُ مُضَارَبَةً أو
بِضَاعَةً.[39]
Beliau menjelaskan bahwa hukum mewakafkan uang, makanan,
benda yang ditimbang atau ditakar hukumnya boleh, dan beliau juga menjelaskana
bagaimana cara mewakafkan uang yaitu dengan cara menjadikan uang tersebut
sebagai modal usaha dan memberikan keuntungannya untuk wakaf yang ditunjuk oleh
pewakaf, sedangkan untuk makanan atau barang yang ditimbang atau ditakar maka
benda tersebut dijual lebih dahulu dan hasil penjualan tersebut dijadikan modal
usaha.
Ibn Najim Al-Mishri Al-Hanafi di dalam kitabnya Al-Bahru
Al-Ra’iq Sarh Kanju Al-Daqa’iq juga menjelaskan tentang sahnya wakaf uang:
قال فَعَلَى هذا
الْقِيَاسِ إذَا وَقَفَ هذا الْكُرَّ من الْحِنْطَةِ على شَرْطِ أَنْ يُقْرَضَ
لِلْفُقَرَاءِ الَّذِينَ لَا بَذْرَ لهم لِيَزْرَعُوهُ لِأَنْفُسِهِمْ ثُمَّ
يُؤْخَذُ منهم بَعْدَ الْإِدْرَاكِ قَدْرُ الْقَرْضِ ثُمَّ يُقْرَضُ لِغَيْرِهِمْ
من الْفُقَرَاءِ أَبَدًا على هذا السَّبِيلِ يَجِبُ أَنْ يَكُونَ جَائِزًا. [40]
Maka permasalah ini menurut beliau berdasarkan Qiyas kepada
permasalahan apabila mewakafkan satu takar biji gandum dengan syarat dijadikan
pinjaman bagi orang miskin yang tidak suka membuang-buang harta dan biji gandum
tersebut mereka tanam yang hasilnya untuk mereka, dan apabila yang menerima
wakaf telah panen maka diambil kembali dengan ukuran yang sama dengan biji
gandum yang diwakafkan, dan satu takar gandum tersebut diwakafkan kembali untuk
fakir yang lain dan seterusnya, maka dengan cara seperti ini hukum
mewakafkannya adalah boleh.
Di dalam kitab Dar Al Mukhtar Sarhk Tanwir Al Abshar Muhammad
Ala’ Ad Din Ibn Ali beliau juga
berpendapat bahwa hukum mewakafkan uang hukumnya dibolehkan:
و صح أيضا وقف كل منقول
قصدا فيه تعامل للناس
كفأس وقدوم بل ودراهم ودنانير قلت بل
ورد الأمر للقضاة بالحكم به كما في معروضات المفتي أبي السعود ومكيل وموزون فيباع
ويدفع ثمنه مضاربة أو بضاعة فعلى هذا لو وقف كرا على شرط أن يقرضه لمن لا بذر له
ليزرعه لنفسه فإذا أدرك أخذ مقداره ثم أقرضه لغيره وهكذا جاز.[41]
Menurut beliau hukum mewakafkan setiap benda yang bisa
dipindah dengan tujuan untuk dipakai oleh manusia untuk bekerja adalah sah
bahkan mewakafkan uang juga dibolehkan. Bahkan apabila seorang Qadhi
menghukumkan boleh mewakafkan benda-benda tersebut maka hukumnya boleh
sebagaimana yang pernah dihukumkan oleh Mufti Abi Su’ud bahwa sah mewakafkan
benda-benda yang boleh ditimbang dan ditakar dengan cara menjualnya dan hasil
penjualannya dijadikan modal usaha atau barang dagangan dan keuntungannya
diberikan kepada fakir miskin.
Selain dua pendapat di atas di dalam kitab Hasyiah Dar Al Mukhtar Sarhk Tanwir Al Abshar Ibn Abid Ala’ Ad Din Afnadi menjelaskan
tentang wakaf uang:
إن الدراهم لا تتعين بالتعيين
فهي وإن كانت لا ينتفع بها مع بقاء عينها لكن بدلها قائم مقامها لعدم تعينها
فكأنها باقية ولا شك في كونها من المنقول فحيث جرى فيها تعامل دخلت فيما أجازه
محمد ولهذا لما مثل محمد بأشياء جرى فيها التعامل في زمانه قال في الفتح إن بعض
المشايخ زادوا أشياء من المنقول على ما ذكره محمد لما رأوا جريان التعامل فيها.[42]
Menurut beliau uang yang diwakafkan untuk dijadikan modal
usaha tidak termasuk benda yang kekal apabila dipakai tetapi pengganti uang
tersebut menempati posisi uang yang diwakafkan, maka uang tersebut seolah-olah
kekal dan apabila sudah menjadi adat uang dijadikan benda wakaf maka hukumnya
dibolehkan.
Setelah penulis memaparkan pendapat-pendapat Ulama Hanafi
tentang hukum mewakafkan uang maka penulis dapat mengambil kesmpulan bahwa
hukum mewakafkan uang menurut ulama Hanafi hukumnya boleh dengan cara
menjadikan uang tersebut modal usaha dan keuntungannya diberikan kepada fakir
miskin, selain itu menurut Ulama Hanafi hukum sah mewakafkan uang akan lebih
kuat jika yang menghukumkan boleh mewakafkan uang tersebut adalah seorang
Qadhi.
B. Dasar Hukum Al Mawardi (Ulama Syafi’iyyah) Dan
Ibn Najim Al-Mishri (Ulama Hanafiyyah) Tentang Wakaf Uang.
Setelah penulis memaparkan pendapat Ulama
Syafi’iyyah dan Hanafi tentang hukum menwakafkan uang dimana Al-Mawardi dan
Ulama Syafi’i lainnya berpendapat bahwa tidak sah mewakafkan uang dan Ibn Najim
Al-Mishri dan Ulama Hanafi yang lain berbeda pendapat dengan ulama Syafi’i
mereka menyatakan boleh mewakafkan uang untuk dijadikan modal usaha, maka
penulis masuk kepada pembahasan selanjutnya yaitu membahas dasar hukum yang
mereka tentang wakaf uang.
1. Dasar Hukum Al Mawardi (Syafi’iyyah)
Dalam menetapkan hukum mewakafkan uang Imam Al-Mawardi dan Ulama Syafi’i
yang lain yang menyatakan tidak sah mewakafkan uang sebagai benda yang
diwakafkan mereka berpendapat demikian berdasarkan:
a. Hadis.
Dalam permasalah wakaf uang yang penulis teliti, berdasarkan kitab Al-Hawi
Al-Kabir karya Al-Mawardi dan kitab-kitab Ulama Syafi’i yang lain yang
penulis teliti tidak terdapat hadis yang menyebutkan langsung tentang
permasalahan mewakafkan uang, tetapi hadis tersebut membatasi benda apa saja
yang sah diwakafkan, adapun hadis tersebut H.R Abu Hurairah R.A:
عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ بَعَثَ رَسُولُ اللَّهِ صلى
الله عليه وسلم- عُمَرَ عَلَى الصَّدَقَةِ فَقِيلَ مَنَعَ ابْنُ جَمِيلٍ وَخَالِدُ
بْنُ الْوَلِيدِ وَالْعَبَّاسُ عَمُّ رَسُولِ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم فَقَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا
يَنْقِمُ ابْنُ جَمِيلٍ إِلاَّ أَنَّهُ كَانَ فَقِيرًا فَأَغْنَاهُ اللَّهُ
وَأَمَّا خَالِدٌ فَإِنَّكُمْ تَظْلِمُونَ خَالِدًا قَدِ احْتَبَسَ أَدْرَاعَهُ
وَأَعْتَادَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ وَأَمَّا الْعَبَّاسُ فَهِىَ عَلَىَّ
وَمِثْلُهَا مَعَهَا.(رواه
المسلم) [43]
Di dalam kitab Takmilah Al-Majmu Sarkh Al Muhazzab
dijelaskan bahwa قَدِ احْتَبَسَ
أَدْرَاعَهُ وَأَعْتَادَهُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ kalimat hadis tersebut
menunjukkan bahwa benda yang boleh diwakafkan adalah benda yang bisa diambil
manfaatnya dan kekal bendanya. [44]
Selain hadis di atas ulama Syafi’i juga menjadikan H.R
Ibn Umar sebagai dalil tentang tidak sahnya mewakafkan uang:
عن ابْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ
اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ أَصَابَ أَرْضًا بِخَيْبَرَ
فَأَتَى النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم يَسْتَأْمِرُهُ فِيهَا فَقَالَ يَا رَسُولَ
اللهِ إِنِّي أَصَبْتُ أَرْضًا بِخَيْبَرَ لَمْ أُصِبْ مَالاً قَطُّ أَنْفَسَ
عِنْدِي مِنْهُ فَمَا تَأْمُرُ بِهِ قَالَ إِنْ شِئْتَ حَبَسْتَ أَصْلَهَا
وَتَصَدَّقْتَ بِهَا قَالَ فَتَصَدَّقَ بِهَا عُمَرُ أَنَّهُ لاَ يُبَاعُ ، وَلاَ
يُوهَبُ ، وَلاَ يُورَثُ وَتَصَدَّقَ بِهَا فِي الْفُقَرَاءِ وَفِي الْقُرْبَى
وَفِي الرِّقَابِ وَفِي سَبِيلِ اللهِ وَابْنِ السَّبِيلِ وَالضَّيْفِ لاَ جُنَاحَ
عَلَى مَنْ وَلِيَهَا أَنْ يَأْكُلَ مِنْهَا بِالْمَعْرُوفِ وَيُطْعِمَ غَيْرَ
مُتَمَوِّلٍ.(رواه
البخاري) [45]
Dari hadis ini menurut ulama Syafi’i dapat diambil
kesimpulan mengenai pengertian wakaf sebagaimana di dalam kitab Al-Majmu’ :
فعندالشافعية حبس المال يمكن الإنتفاع به مع بقاء
عينه بقطع التصرف في رقبته على مصرف مباح وجهته. [46]
Dari pengertian di atas yang menyebutkan حبس
المال يمكن الإنتفاع به مع
بقاء عينه menurut Imam Nawawi yang
dimaksud dengan المال harta yang tertentu dan tidak termasuk
didalamnya uang karena uang akan habis dengan dimanfaatkan, maka uang tidak
termasuk harta yang kekal apabila diambil manfaat.[47]
Di Takmilah Al-Majmu’ juga dijelaskan bahwa Ulama
Syafi’i berbeda pendapat tentang wakaf Dirham dan Dinar (uang) adapun pendapat
yang Shahih menurut Imam Nawai adalah tidak sah mewakafkan uang, adapun
yang menjadi illat tidak sahnya wakaf uang adalah karena apabila uang
tersebut dijadikan modal usaha dan keuntungannya menempati tempat uang yang
diwakafkan sebagaimana penpat Ulama Hanafi tetapi apabila mengalami kerugian
maka uang tersebut akan berkurang bahkan akan habis oleh sebab itu dengan
resiko demikian maka Ulama Syafi’i menyatakan tidak sah mewakafkan uang.[48]
b. Adat
Selain hadis di atas Al-Mawardi menjadikan adat sebagai
dasar hukum tentang wakaf uang sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Al-Hawi
Kabir:
لِأَنَّ هَذَا نَادِرٌ
مِنْ مَنَافِعِ ذَلِكَ ، وَالْأَغْلَبُ سِوَاهُ فَصَارَ حُكْمُ الْأَغْلَبِ هُوَ
الْمُغَلَّبَ.[49]
Menurut al-mawardi mewkafkan uang dan diambil manfaatnya
adalah sesuatu yang jarang dilakukan, adapun yang menjadi kebiasaan dalam wakaf
adalah mewakafkan selain uang. Maka sesuatu yang jarang dilakukan tidak sah
untuk dijadikan benda wakaf.
Sebagaimana pendapat Ibn Abidin:
قال ابن عابدين : وقف
الدراهم متعارف في بلاد الروم دون بلادنا، ووقف الفأس والقدوم كان متعارفاً في زمن
المتقدمين، ولم نسمع به في زماننا، فالظاهر أنه لا يصح الآن، ولئن وجدنا قليلاً لا
يعتبر، لأن التعامل هو الأكثر استعمالاً.[50]
Menurut Ibn Abidin mewkafkan uang itu adalah sesuatu yang
jarang dilakukan oleh masyarakat, maka sesuatu yang jarang dilakukan tidak bisa
dijadikan landasan hukum, maka hukum mewakafkan uang adalah tidak sah.
2. Dasar Hukum Ibn Najim Al-Mishri (Hanafiyyah)
Setelah penulis menerangkan dalil-dalil ulama Syafi’iyyah
tentang hukum mewakafkan uang penulis melanjutkan menjabarkan dalil Ibn Najim
Al-Mishri (Hanafi), adapun dalil yang di gunakan Ulama Hanafi dalam
menetapkan hukum mewakafkan uang adalah Istihsan Al-Urf.
Sebagaimana yang disebutkan Dr Wahbah Az Zuhaili di dalam
kitab Al-Fikh Al Islam Wa Adillatuh :
ولم يجز الحنفية وقف
المنقول ومنه عندهم البناء والغراس إلا إذا كان تبعاً للعقار، أو ورد به النص
كالسلاح والخيل، أو جرى به العرف كوقف الكتب والمصاحف والفأس والقدوم والقدور
الأواني وأدوات الجنازة وثيابها، والدنانير والدراهم، والمكيل والموزون، والسفينة
بالمتاع، لتعامل الناس به، والتعامل ـ وهو الأكثر استعمالاً ـ يترك به القياس،
لخبر ابن مسعود: «ما رآه المسلمون حسناً، فهو عند الله حسن» ولأن الثابت بالعرف
ثابت بالنص، هذا مع العلم أن وقف البناء صار متعارفاً، بخلاف ما لا تعامل فيه
كثياب ومتاع.[51]
Di dalam buku Fikih Wakaf yang diterbitkan oleh
Direktorat Pengembangan Zakat dan Wakaf, menyebutkan bahwa dalil dibolehannya
mewakafkan uang adalah sebagai pengecualian karena sudah banyak dilakukan
masyarakat, sesuai dengan hadis yang diriwayatkan Abdullah Ibn Mas’ud:
عن عبد الله بن مسعود ما
رآه المسلمون حسناً، فهو عند الله حسن (رواه احمد)[52]
Menurut Ulama Hanafi hukum yang ditetapkan berdasarkan urf’
(adat kebiasaan) mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan hukum yang
ditetapkan berdasarkan al-Qur’an dan Hadis.[53]
Selain itu ulama Hanafi juga menetapkan hukum berdasarkan
putusan Qadhi sebagaimana dijelaskan dalam kitab Dar Al Mukhtar Sarhk
Tanwir Al Abshar Muhammad Ala’ Ad
Din Ibn Ali beliau:
و صح أيضا وقف كل منقول
قصدا فيه تعامل للناس
كفأس وقدوم بل ودراهم ودنانير قلت بل
ورد الأمر للقضاة بالحكم به كما في معروضات المفتي أبي السعود ومكيل وموزون فيباع
ويدفع ثمنه مضاربة أو بضاعة فعلى هذا لو وقف كرا على شرط أن يقرضه لمن لا بذر له
ليزرعه لنفسه فإذا أدرك أخذ مقداره ثم أقرضه لغيره وهكذا جاز.[54]
C. Analisis Pendapat Ulama Syafi’iyyah (Al-Mawardi)
dan Hanafiyyah (Ibn Najim Al-Mishri) tentang
wakaf uang
Seperti yang sudah
dijelaskan di atas hukum mewakafkan uang merupakan masalah yang masih
diperdebatkan di kalangan ulama fikih. Hal
ini disebabkan
karena yang lazim dipakai oleh masyarakat dalam mengembangkan harta
wakaf berkisar pada penyewaan harta wakaf. Seperti tanah,gedung,
rumah dan lain sebagainya.
Yang dimaksud
dengan wakaf uang adalah wakaf yang dilakukan seseorang, kelompok
orang, dan lembaga atau badan hukum dalam bentuk uang uang. Perlu
diketahui bahwa diantara syarat harta yang diwakafkan adalah dapat diambil
manfaatnya namun tetap eksistensinya. Terdapat dua macam harta yang
hanya dapat diambil maanfaatnya: pertama, harta yang tidak mungkin dapat diambil
manfaatnya kecuali dengan mengkonsumsi dan menghabiskan harta aslinya dengan
tidak ada pengganti harta tersebut. Kedua, harta yang tidak dapat dimanfaatkan
kecuali dengan mengkonsumsinya dan menghabiskan harta asli,
akan tetapi ada pengganti harta tersebut.[55]
Untuk kategori
pertama, ulama tidak berbeda pendapat dalam hukum pelarangannya.
Karena harta asli dan manfaatnya akan habis ketika dikonsumsi pertama
kali.[56]
Berbeda halnya dengan jenis harta kategori kedua, walaupun harta tersebut
dikonsumsi, akan tetapi nilai aslinya tidak ikut habis karena ada nilai ganti
yang dimilikinya. Di kategori kedua inilah terjadi
perbedaan pendapat ulama dalam legalitasnya, dan tentulah kaitannya dengan
wakaf uang yang dimaksud.
Oleh karenanya,
sebagian ulama kurang menerima ketika ada di antara ulama
yang berpendapat hukum mewakafkan uang boleh. Dengan uang sebagai aset
wakaf, maka penggunaannya akan berhubungan dengan praktek riba.
Alasan boleh
atau tidak bolehnya wakaf tunai berkisar pada wujudnya. Apakah wujud uang itu setelah
digunakan atau dibayarkan masih ada seperti semula, terpelihara, dan
menghasilkan keuntungan lagi pada jangka waktu yang lama dan juga apakah
praktek mewakfkan uang tersebut sudah menjadi kebiasaan disuatu negeri atau
tidak.
Tetapi dari semua pendapat ulama yang bertentangan
penulis memilih pendapat ulama Sayfi’iyyah dan Hanafi sebagai pembahasan dalam
skripsi ini, dalam skripsi ini penulis telah memaparkan pendapat-pendapat dari
ulama Syafi’iyyah dan Hanafi serta dalil-dalil mereka dalam menguatkan
pendapatnya tentang boleh dan tidaknya wakaf uang.
Setelah penulis memaparkan pendapat-pendapat Ulama
Syafi’i dan Ulama Hanafi penulis dapat mengetahui alasan dan dalil-dalil yang
mereka gunakan sebagai dasar hukum dalam menetapkan wakaf uang selanjutnya
penulis akan menganalisis pendapat dan dalil dari kedua ulama tersebut.
Menurut analisis penulis ulama Syafi’i dalam pendapat
yang shahih menyatakan bahwa mewakafkan uang hukumnya tidak sah karena
menurut ulama Syafi’i uang tidak termasuk kategori benda wakaf yang bisa
dipakai dan bendanya tidak akan habis sebagaimana kategori benda wakaf yang
disebutkan dalam hadis Ibn Umar:
بتحبيس الاصل وتسيل الثمرة
Menurut Imam Nawawi Hadis ini selain diriwayatkan Imam
Bukhari juga diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abu Daud, Al-Tirmidzi, Nasa’i, Ibn
Majah, dan lain-lainnya sebanyak 13 riwayat seluruhnya mengambil riwayat dari
Nafi’ dan menurut Imam Al-Tirmidzi tingkatan hadis ini adalah Hasan Shahih.[57]
Alasan ulama Syafi’i dalam menetapkan hukum bahwa uang
tidak sah untuk diwakafkan karena meskipun uang bisa dijadikan sebagai modal
usaha dan akan ada pengganti dari uang yang telah habis dipakai, tetapi hukum
kebolehan mewakafkan uang tersebut masih tergantung bagaimana berjalannya usaha
tersebut apakah mengalami kerugian atau keuntungan apabila mengalami kerugian
maka uang yang diwakafkan akan berkurang dan habis maka tidak tidak sah wakaf
dengan sebab bergantungnya hukum wakaf terhada berkurang atau habisnya uang wakaf
tersebut.
Selain itu Ulama Syafi’i tidak membolehkan mewakafkan
uang juga karena pertimbangan hukum mereka mengenai adat dimasyarakat, menurut
mereka mewakafkan uang merupakan sesuatu yang jarang dilakukan masyarakat maka
sesuatu yang jarang tidak bisa dijadikan sebagai ketetapan hukum.
Menurut al-Bakri, mazhab Syafi'i tidak membolehkan wakaf
uang, mazhab Syafi'i tidak membolehkan wakaf tunai, karena dinar atau dirham
atau uang akan lenyap ketika akan dibayarkan sehingga tidak ada lagi wujudnya.[58]
Adapun alasan lain yang tidak membolehkan wakaf tunai
oleh ulama Syafi'iyah antara lain: Pertama, Bahwa uang zatnya akan bisa habis
dengan sekali pakai. Uang
hanya bisa dimanfaatkan
dan dibelanjakan sehingga bendanya lenyap. Padahal inti dari wakaf
itu adalah kesinambungan hasil dari modal atau harta yang tetap. Oleh karena itulah persyaratan agar benda yang
diwakatkan harus
tahan lama dan tidak habis ketika dipakai. Kedua, Bahwa uang itu diciptakan sebagai alat tukar,
bukan untuk ditarik manfaatnya dengan mempersewakan zatnya. Adapun yang membuat
mereka merasa aneh adalah karena tidaklah mungkin mempersewakan benda-benda
seperti itu, oleh karena itu
mereka segera mempersoalkan dengan mempertanyakan apa yang dapat dilakukan dengan dana dinar dan dirham.
Di dalam kitab Al-Muhalla Abu
Muhammad Ali Ibn ahmad Al-Qurtubi Al-Zhahiri menguatkan pendapat ulama Syafi’i
ia menyebutkan bahwa:
قال أبو محمد:
"وَالْقِيَاسُ كُلُّهُ بَاطِلٌ، فَكَيْفَ وَالنَّصُّ يُبْطِلُهُ"،
لأََنَّ إيقَافَ الشَّيْءِ لِغَيْرِ مَالِكٍ مِنْ النَّاسِ، وَاشْتِرَاطُ
الْمَنْعِ مِنْ أَنْ يُورَثَ، أَوْ يُبَاعَ، أَوْ يُوهَبَ: شُرُوطٌ لَيْسَتْ فِي
كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. وَقَدْ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:
"مَنْ اشْتَرَطَ شَرْطًا لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَلَيْسَ لَهُ وَإِنْ
شَرَطَ مِائَةَ مَرَّةٍ كُلُّ شَرْطٍ لَيْسَ فِي كِتَابِ اللَّهِ فَهُوَ
بَاطِلٌ" فَصَحَّ أَنَّهُ لاَ يَجُوزُ مِنْ هَذِهِ الشُّرُوطِ إِلاَّ مَا
نَصَّ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَلَى جَوَازِهِ فَقَطْ، فَكَانَ ذَلِكَ
فِي كِتَابِ اللَّهِ تَعَالَى. لِقَوْلِهِ عَزَّ وَجَلَّ: )وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوَى إنْ هُوَ إِلاَّ وَحَيٌّ
يُوحَى( وَلِقَوْلِهِ تَعَالَى: )لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاك اللَّهُ( لاَ سِيَّمَا الدَّنَانِيرُ وَالدَّرَاهِمُ، وَكُلُّ
مَا لاَ مَنْفَعَةَ فِيهِ، إِلاَّ بِإِتْلاَفِ عَيْنِهِ، أَوْ إخْرَاجِهَا عَنْ
مِلْكٍ إلَى مِلْكٍ، فَهَذَا هُوَ نَقْضُ الْوَقْفِ وَإِبْطَالُهُ. [59]
Menurut Abu Muhammad Ali Ibn ahmad Al-Qurtubi Al-Zhahiri
setiap harta wakaf yang tidak disebutkan oleh Nabi SAW di dalam hadis maka
tidak boleh untuk mewakafkannya, bahkan menurut beliau lebih-lebih lagi dinar
dan dirham karena setiap yang tidak bisa diambil manfaatnya kecuali
dengan menghilangkan bendanya atau memindahkan kepemilikannya dari satu orang
kepada yang lainnya maka hukum mewakafkannya tidak sah dan batal.
Selain Abu Muhammad Ali Ibn ahmad Al-Qurtubi Al-Zhahiri
Ibn Qudamah juga mengatakan di dalam kitabnya Al-Mugni bahwa tidak sah
mewakafkan uang:
أن مالا يمكن الإنتفاع به مع بقاء عينه
كالدنانير والدراهيم وأشبهه لايصح وقفه. قيل فى الدراهيم والدنانير يصح على من
اجاز إجارته, لأن تلك المنفعة ليست المقصود الذى خلقت له الأثمان ولهذا لاتضمن فى
الغصب فلم يجوز له كوقف الشجر على نشر الثياب والغنم على دوس الطين والشمع ليتجمل
فيه. [60]
Menurut Ibn Qudamah segala sesuatu yang tidak bisa
dimanfaatkan kecuali dengan menghilangkan bendanya maka tidak sah mewakafkannya
seperti dirham dan dinar, ada pendapat yang membolehkan karena menurut mereka
sah untuk menyewakannya, tetapi menurut Ibn Qudamah keuntungan yang diperoleh
dari menyewakan atau menjadikan uang yang diwakafkan sebagai modal itu bukan
tujuan dijadikannya uang, karena hukum uang yang diwkafkan akan bergantung
kepada berjalannya usaha apabila mengalamikerugian maka hilanglah benda wakaf
tersebut.
Tetapi dalam kitab Takmilah Al-Majmu’ juga
dijelaskan bahwa salah satu pendapat Imam Syafi’i berpendapat bahwa sah
mewakafkan emas dan perak (perhiasan):
وذهب إمامنا الشافعى إلى صحة وقف الحلي لأن حفصة
رضي الله عنها ابتعت حليا بعشرين الفا فحبسته على نساء آل الخطاب فكانت لاتخرج
زكاته.[61]
Dalam menetapkan kebolehan mewakafkan emas dan perak
(perhiasan) berdasarkan pekerjaan istri Nabi SAW Sayyidati Hafsoh yang
mewakafkan emas dan perak (perhiasan) untuk para perempuan keluarga Khattab
menurut pendapat ini sebab itulah dibolehkan mewakafkan emas dan perak.
Menurut Ibn Qudamah di dalam kitab Al-Mugni perhiasan
yang diwakafkan oleh Hafsoh berbeda hukumnya dengan emas dan perak yang
dijadikan uang karena emas dan perak yang dijadikan perhiasan bisa dipakai dan
dipinjamkan sedangkan emas dan perak (uang) tidak sah mewakafkannya karena
kebiasaan masyarakat tidak mewakafkannya dan syari’at Islam tidak menggugurkan
kewajiban zakat bagi uang dan tidak wajib mengganti apabila hilang.[62]
Selain itu juga diriwayatkan dari Abu Tsaurin dari Imam
Syafi’i bahwa boleh mewakafkan dirham dan dinar (uang) untuk
dipersewakan:
وَرَوَى أَبُو ثَوْرٍ ،
عَنِ الشَّافِعِيِّ جَوَازَ وَقْفِهَا وَهَذِهِ الرِّوَايَةُ مَحْمُولَةٌ عَلَى
وَقْفِهَا عَلَى أَنْ يُؤَاجِرَهَا لِمَنَافِعِهَا لَا لِاسْتِهْلَاكِهَا
بِأَعْيَانِهَا ، فَكَأَنَّهُ أَرَادَ وَقْفَ الْمَنَافِعِ وَذَلِكَ لَمْ يَجُزْ
وَإِنْ وَقَفَهَا لِلْإِجَارَةِ وَالِانْتِفَاعِ الْبَاقِي ، فَعَلَى وَجْهَيْنِ
كَمَا قُلْنَا فِي الْإِجَارَةِ .[63]
Menurut Abu Tsaurin Imam Syafi’i membolehkan mewakafkan
uang, Imam Mawardi menanggapi pendapat ini, menurut beliau kemungkinan cara
mewakafkan uang ini dengan cara menyewakannya untuk diambil manfaatnya bukan
untuk menghabiskan bendanya maka menurut beliau hal tersebut boleh, tetapi jika
dijadikan modal usaha dan diambil manfaat dari keuntungannya maka pada
permasalahn ini ada dua pendapat:
أَحَدُهُمَا : يَصِحُّ
لِوُجُودِ الْمَعْنَى مِنْ حُصُولِ الِانْتِفَاعِ مَعَ بَقَاءِ الْعَيْنِ .
وَالْوَجْهُ الثَّانِي : لَا يَصِحُّ ؛ لِأَنَّ هَذَا نَادِرٌ مِنْ مَنَافِعِ
ذَلِكَ ، وَالْأَغْلَبُ سِوَاهُ فَصَارَ حُكْمُ الْأَغْلَبِ هُوَ الْمُغَلَّبَ .
وَلِأَنَّ الْمَنَافِعَ الْمَضْمُونَةَ بِالْإِجَارَةِ هِيَ الْمَضْمُونَةُ
بِالْغَصْبِ ، وَمَنَافِعُ الدَّرَاهِمِ وَالطَّعَامِ لَا تُضْمَنُ بِالْغَصْبِ
فَلَمْ يَصِحَّ أَنْ تُضْمَنَ بِالْإِجَارَةِ.[64]
Pendapat pertama membolehkan wakaf uang dengan alasan
karena dengan menjadikan uang modal usaha maka akan mendapat manfaat dari usaha
tersebut, dan uang tersebut tetap ada. Pendapat kedua tidak membolehkan
mewakafkan uang dengan alasan bahwa mewakafkan uang untuk desewakan adalah
perbuatan yang jarang dilakukan masyarakat sehingga pekerjaan yang jarang tidak
bisa dipakai dalam menetapkan hukum.
Setelah menganalisis pendapat ulama Syafi’i selanjutnya
penulis menganalisis pendapat ulama Hanafi, Ulama Hanafi berpendapat bahwa
mewakafkan uang hukumnya sah karena menurut ulama Hanafi uang bisa dimasukkan
kedalam kategori benda yang tidak akan habis apabila dipakai dengan cara
menjadikan uang tersebut sebagai modal usaha, dan apabila telah mendapatkan
keuntungan dari usaha tersebut maka keuntungan tersebut diambil kembali maka
keuntungan tersebut menjadi pengganti uang wakaf dan menempati posisi uang
wakaf yang telah habis dipakai sebelumnya.
Selain itu Ulama Hanafi juga menjadikan Al-Urf’ sebagai
landasan hukum dalam menetapkan kebolehan mewakafkan uang menurut mereka
apabila mewakafkan uang sudah menjadi kebiasaan yang dilakukan masyarakat
sebagaimana hadis Ibn Mas’ud
عن عبد الله بن عمر قال ما رآه المسلمون حسناً، فهو عند
الله حسن (رواه احمد)[65]
Maka hukum yang ditetapkan berdasarkan kebisaan
masyarakat mempunyai kekuatan hukum seperti hukum yang ditetapkan berdasrkan Nash.
Pendapat ulama Hanafi tentang kebolehan mewakafkan uang
juga dikuatkan oleh pendapat imam Bukhari:
فِي بَعْضِ طُرُقِ
الْبُخَارِيِّ فَقَالَ عَلَيْهِ الصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ : ( تَصَدَّقْ بِأَصْلِهِ لَا يُبَاعُ وَلَا يُوهَبُ وَلَا
يُورَثُ وَلَكِنْ تُنْفَقُ ثَمَرَتُهُ ) ثُمَّ اسْتَدَلَّ بِالْمَعْنَى ، وَهُوَ
قَوْلُهُ وَلِأَنَّ الْحَاجَةَ مَاسَّةٌ إلَى أَنْ يَلْزَمَ الْوَقْفَ لِحَاجَتِهِ
إلَى أَنْ يَصِلَ ثَوَابُهُ إلَيْهِ عَلَى الدَّوَامِ[66]
Menurut imam Bukhari berdasarkan hadis Nabi SAW di atas
menunjukkan bahwa tujuan wakaf adalah pahala sampainya pahala wakaf kepada
orang yang berwakaf secara terus menerus, apabila bisa tercapai tujuan wakaf
tersebut maka sah mewkafkan suatu benda baik itu uang dan lainnya.
Tetapi dalam kitab Majma’ al-Anhar Fi Srakh Mulaqqil
Abhar dijelaskan bahawa Abu Yusuf melarang mewakafkan benda yang bergerak
selain kuda dan pedang sebagaimana pendapat beliau:
وَمَا سِوَى الْكُرَاعِ
وَالسِّلَاحِ لَا يَجُوزُ وَقْفُهُ عِنْدَ أَبِي يُوسُفَ لِأَنَّ الْقِيَاسَ
إنَّمَا يُتْرَكُ بِالنَّصِّ ، وَالنَّصُّ وَرَدَ فِيهِمَا فَيُقْتَصَرُ عَلَيْهِ.[67]
Menurut Abu Yusuf
banda manqul selain kuda dan pedang yang disebutkan pada hadis maka
tidak sah mewakafkannya, karena Qiyas wajib ditinggalkan apabila ada nash yang
membatasi, dan pada nash yang disebutkan hanya dua benda tersebut maka
ditentukan benda wakaf yang sah diwakafkan pada keduanya saja.
Tetapi ditegaskan lagi tentang kebolehan wakaf uang dalam
kitab Fathul Qadir karya Kamaluddin Al Hammam:
الصحيح فيه أن ما جرى
العرف بين الناس بالوقف فيه من المنقولات يجوز باعتبار العرف وذلك
كثياب الجنازة وما يحتاج إليه من القدور والأواني في غسل الميت والمصاحف والكراع
والسلاح للجهاد فإنه روى أنه اجتمع في خلافة عمر رضي الله عنه ثلاثمائة فرس مكتوب
على أفخاذها حبيس في سبيل الله تعالى وهذا الأصل معروف أن ما تعارفه الناس وليس في
عينه نص يبطله فهو جائز .[68]
Menurut Kamaluddin Al Hammam pedapat yang Shahih adalah
boleh mewakafkan semua bneda yang bergerak apabila sudah menjadi adat pada
masyarakat dan selama tidak ada nash yang melarangnya.
Setelah penulis memaparkan pendapat-pendapat dan
dalil-dalil serta alasan yang dikemukakan oleh ulama Syafi’i dan Hanafi
Khususnya Imam Al-Mawardi dan Ibn Najim Al-Mishri tentang wakaf uang penulis melihat
diantara Ulama Syafi’I dan Hanafi mempunyai dua persamaan dalam menetapkan
hukum mewakafkan uang, baik Ulama Syafi’i atau Hanafi keduanya menjadikan Al-Adah
atau kebiasaan yang terjadi pada masyarakat sebagai patokan dibolehkannya
mewakafkan uang sebagaimana yang telah dijelaskan di atas. Sehingga menurut
penulis hukum mewakafkan uang ini tergantung kebiasaan masyarakat apabila
mereka telah terbiasa menjadikan uang sebagai benda yang diwakafkana maka uang
bisa saja dimasukkan sebagai salah satu benda yang boleh diwakafkan.
Sesuai dengan Qaidah fikih :
العادة المحكمة.[69]
Selain itu menurut penulis penetapan hukum yang
dikemukakan Ulama Hanafi berdasarkan ketetapan pemimpin (qadhi) dalam
menetapkan hukum bolehnya uang diwakafkan, sesuai dengan Qaidan fikih:
تصرف الإمام على الرعية منوط بالمصلحة. [70]
Apabila pemimpin (Al-Qadhi) telah melihat kebaikan
atau prosfek yang bagus untuk mensejahterakan ummat maka ketetapan tersebut
bisa dijadikan sandaran untuk menetapkan hukum mewakfkan uang.
Sebagaimana di Indonesia kebolehan wakaf uang di tetapkan
oleh pemerintah atau (Qadhi) dalam hal ini Manjelis Ulama Indonesia
dalam fatwanya
tentang wakaf
tunai ini. Fatwa yang ditetapkan Majelis Ulama Indonesia menyatakan bahwa hukum mewakafkan
uang adalah jawdz (boleh), nilai pokok uang harus
dijamin kelestariannya,
tidak boleh dijual, dihibahkan, dan diwariskan serta wakaf uang hanya
boleh disalurkan dan digunakan untuk hal-hal yang dibolehkan secara syari’at Islam.[71]
Di Indonesia sendiri mewakafkan uang sudah menjadi
kebiasaan di masyarakat tetapi penyalurannya berbeda dengan yang ditetapkan
pemerintah kebiasaan masyarakat Indonesia mewakafkan uang bukan untuk dijadikan
modal usaha tetapi masyarakat mewakafkan uang untuk dibelikan untuk keperluan
mesjid dan pendukung lain untuk kesejahteraan mesjid dan keperluan wakaf lainnya.
Selain itu wakaf merupakan salah satu konsef fikih ijtihadiyah yang
lahir dari pemahaman ulama terhadap nash-nash yang menjelaskan tentang
pembelanjaan harta dan sebagai respons terhadap hadis yang diriwayatkan Ibn
Umar tentang pertanyaan Umar berkaitan dengan pemanfaatan tanahnya di Kahibar,
serta beberapa hadis lain yang mendukung. Namun, mengenai hal-hal yang tidak
ada nash-nya dalam al-Qur’an dan sunnah, sejauh dalam bidang muamalah
pintu ijtihad terbuka lebar
untuk dilakukan, termasuk persoalan wakaf uang. Karena tidak ada nash al-Qur’an
dan sunnah yang secra tegas melarang wakaf uang maka atas dasar maslahah mursalah,
wakaf uang dibolehkan, karena mendatang manfaat wakaf uang sangat besar
bagi kemaslahatan umat, atau dalam istilah ekonomi dapat meningkatkan investasi
sosial dengan mentransformasikan tabungan masyarakat menjadi modal umat.
Hal ini didasarkan pada qaidah fikih yang berbunyi:
الاصل في العقود والمعاملات الصحة حتى يقوم
الدليل على البطلان.[72]
Setelah melihat pendapat, dalil, dan alasan yang
dikemukakan para ulama menurut hemat penulis wakaf uang hukumnya adalah boleh.
Tetapi, kebolehan wakaf uang ini sangat bergantung kepada kebiasaan yang
terjadi dimasyarakat dalam mewakafkan uang apabila telah menjadi kebiasaan
masyarakat maka mewakafkan uang boleh dilakukan dan juga bergantung kepada
pengelolaannya uang wakaf yang dijadikan modal usaha agar uang wakaf terus
terpelihara dan usaha tersebut tidak mengalami kerugian sehingga menyebabkan
harta wakaf tersebut berkurang dan habis.
Selain itu
kalau dilihat perkembangan wakaf uang pada masa sekarang, kalau kita lihat dari
perhitungan dan perkiraan ekonomi wakaf uang dapat dilakukan dengan cara
menjadikannya sebagai modal usaha seperti dalam mazhab Hanafi. Cara ini
memungkinkan modal (uang) terpelihara seperti dalam sebuah lembaga bank yang
bonafide dan keuntungannya dapat disalurkan sebagai hasil wakaf. Untuk lebih
aman lagi harus ditopang oleh lembaga penjamin (asuransi Syari’ah) sebagai
upaya menghindari kegagalan usaha. Dengan demikian uang yang diwakafkan dapat
diganti, sehingga usahanya tetap ada dan tidak lenyap.[73]
[1]Abu Hasan Ali
bin Muhammmad bin Habib Al-Mawardi, Adab Ad-dunya Wa Ad-din, tahqiq, (Libanon:
Dar Al-Fikr, 1994) Hal. 4
[2]Abu Al-Hasan Ali bin Muhammad bi Habib Al-Mawardi Al-Basyri Asy'Syafi'I, An-Nukat
Wa Al-Uyun fi Tafsir Al-Qur'an Al-Karim, tahqiq oleh Sayyid Abd Al-Maqsud
bin Abd Rohim,Juz I (Libanon: Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, t.t), Hal. 9
[3]Abi Al-Fida'
Al-Hafiz Ibn Katsir, Al-Bidayah Wa An-Nihayah, Juz XII (Libanon: Dar Al-Fikr, t.t), Hal. 80
[5]
Abudin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam: Seri Kajian Filsafat
Pendidikan Islam, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Perkasa, 2001), Hal. 43
[11]Abu al-Falah Abd hayyi Al-Imah, Syazarat az-zahab Fi Akhbar mion zahab,
Juz III (Beirut: Dar Al-Fikr, t.t), Hal. 286
[12]Syamsuddin
Muhammad bin Utsman Az-zahabi, Siyaru A'lam An-Nubala, Jux XIV Cet. VII, (Beirut: Arrisalah, 1990), Hal. 14
[13]Mohd
Rumaizuddin Ghazali, Pengenalan Terhadap sejarah Hidup Al-Mawardi,
(Mindamadani: 8 Oktober, 2006),
[17]https://ar.wikipedia.org/wiki/%D8%A7%D8%A8%D9%86_%D9%86%D8%AC%D9%8A%
D9%85 DiAcses Tgl. 21-11-2016, jam. 12.30
[18]Dedi Sufriyadi,
M.Ag, Op.cit. hal 13. Juga bisa dilihat di, Abu Zahrah, Ushul Fikih,Mesir,
Darul Fikr,1950.hal.12.
[20]Dr. Siah
Khosiah, Op.cit, hal.23-24.
[21]Dedi Sufriyadi,
M.Ag, Op.cit. hal. 15-16.
[27]Dede Rosyada, Hukum
Islam dan Pranata Sosial Dirasah Islamiyah III, PT RajaGrafindo Persada,
Jakarta, 1996, hal.109.
[31]Al-Khathib al-Syarbiny, Mughni al-Muhtaj, (Kairo, Darul Hadis, 2006,
juz 3), Hal. 452.
[32]AL-Mawardi, Al-Hawi
Al-Kabir, Juz VII, (Beirut: Dar Al-Kutub Ilmiyah, 1994). Hal. 519
[35]Imam Nawawi, Asna Al-Matahalib, Juz II (Beirut: Dar Al-Kutub
Ilmiyah, 2000). Hal. 458
[36]Imam Nawawi, Takmilah Al-Majmu’ Syarh Al Muhazzab, Juz XVII (Beirut Dar
Fikr, 2001), Hal. 176
[37]Ibn Hajar Al Haitami, Tuhfah Al-Muhtaj Bi Syarh Al Minhaj, Juz II (Beirut Dar Al Kutub Ilmiah, 2011).
Hal. 489
[38]Muhammad Ibn Qasim Al Ghazi, Fath Al Qarib, Juz II, (Jakarta: Dar Al
Kutub Islamiah, 2007). Hal. 83-85
[39]Ibn Najim Al-Mishri Al-Hanafi, Al-Bahru Al-Ra’iq Sarh Kanju Al-Daqa’i, Juz
V, (Beirut: Dar Al Ma’rifah, TT). Hal. 219
[41]Muhammad Ala’ Ad Din Ibn Ali, Dar
Al Mukhtar Sarhk Tanwir Al Abshar, Juz IV (Beirut: Dar Al Fikr, TT). Hal.
363-364
[42]Ibn Abid Ala’ Ad Din Afnadi, Hasyiah Dar Al Mukhtar Sarhk Tanwir Al
Abshar, Juz IV( Beirut: Dar Al Fikr, 2000). Hal. 364
[43]Imam Muslim, Shahih Muslim, Juz III (Beirut: Dar Al Afaq, tt). Hal.
68
[45]Imam Bukhari, Jami’ Shahih Bukhari, Juz III (Beirut: Dar Al-Sya’bi,
tt). Hal. 260
[52]Ahmad Ibn Hambal abu Abdillah Asy-Syaibani, Musnad Ahmad Ibn Hambal, juz
I (Jeddah: Al Muas’sasah Qurtubah, tt), hal. 379
[54]Dar Al Mukhtar Sarhk Tanwir Al Abshar, Lok.cit.
[55]Dewan direksi Majelis Wakaf Kuwait, Al-Mausu’ah al-Fikihiyyah
al-Kuwaitiyyah, Wizaratu al-Awqaf, Kuwait, 1983, juz 44, hal. 166
[56]Ibid.
[58]Al-Bakri Satho, I’anatu Ath-Thalibin, Juz III (Kairo: Al Halabi)
Hal. 161
[59]Abu Muhammad Ali Ibn ahmad Al-Qurtubi Al-Zhahiri, Al-Muhalla,
Juz IX (Beirut Dar Al Fikr, tt). Hal. 176
[60]Abdullah Ibn
Ahmad Ibn Muhammad Ibn Qudamah, Al-Mugni, Juz V (Riyad Maktabah Al
Hadisah, 1981). Hal. 640
[66]Kamaluddin Muhammad Ibn Abdul Wahis, Fath Al Qadir, juz 14, (Beirut:
Dar Al Kutub, tt), hal. 67
[67]Abdurrahman Ibn Ahmad Al Kalyuli, Majma’ Al-Anhar Fi Sarhki Multaqil
Abhar, Juz V (Beirut Dar al Kutub Ilmiah, tt) hal. 49
[69]Abdullah Ibn Sa’id Al-Hadrami, Idhah Al-Qawaid Al-Fikhiyyah, (Jakarta:
Dar al Kutub Islamiah, 2001).
[70]Abdullah Ibn Sa’id Al-Hadrami, Idhah Al-Qawaid Al-Fikhiyyah, (Jakarta:
Dar al Kutub Islamiah, 2001), Hal. 63
[71]Departemen
Agama RI, Fikih Wakaf, (Jakarta: Proyek Peningkatan Zakat dan Wakaf,
Direktorat Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji, 2003), Hal. 3
[72]DEPARTEMEN AGAMA RI DIREKTORAT JENDRAL BIMBINGAN MASYARAKAT ISLAM DAN
PENYELENGGARA HAJI DIREKTORAT PENGEMBANGAN ZAKAT DAN WAKAF, Wakaf Tunai
dalam Perspektif Hukum Islam, hal. 102-103
[73]Op.cit,
Departemen
Agama RI, Fikih Wakaf, hal. 14
Komentar
Posting Komentar